Seorang tenaga pemasar (marketing) produk properti memperlihatkan kegembiraannya karena calon konsumennya sangat berminat dengan produk yang dipasarkan dan telah menyetujui harga yang ditawarkan. Bahkan beberapa kali konsumen ini datang seorang diri untuk memastikan cara pembayaran sambil bertanya-tanya lebih detil.
Namun begitu kecewanya si pemasar ketika setelah sebulan melakukan follow up ternyata calon konsumen tersebut tidak jadi membeli. Lebih mengecewakan lagi, batalnya transaksi bukan karena tidak tertarik dengan produk atau mahalnya harga yang ditawarkan, melainkan karena istrinya yang tidak setuju. Nah loh!
Nyatanya, 78 persen pembelian properti dilakukan atas persetujuan istri! Dalam setiap kesempatan, saya sering memberikan pengarahan kepada tenaga pemasar untuk sedapat mungkin membawa calon konsumen dan keluarganya untuk melihat-melihat unit contoh (show unit) dan juga ikut dalam negosiasi harga.
Ini karena membeli rumah atau properti apalagi untuk ditinggali, menyangkut proses pengambil keputusan dalam nilai besar dan banyak faktor dan kepentingan terkait disana. Bila dalam keluarga bapak sebagai kepala keluarga dan istrinya sebagai ibu rumah tangga, maka yang akan lebih lama ‘tinggal’ dan ‘menikmati’ rumah yang ada adalah istri dan anak-anaknya.
Karenanya ada pihak dengan kepentingan besar dalam proses pembelian rumah atau properti tersebut, yaitu seorang istri. Tapi ada sebuah kondisi di mana tenaga pemasar tidak perlu mengharuskan si suami untuk membawa istrinya, dan juga tidak harus memberitahukan istrinya bahwa si suami membeli sebuah properti, karena mungkin memang motif pembeliannya berbeda dan kepentingannya berbeda. Anda tahu kenapa? Bisa direnungkan sendiri…….hehehe
Ali Tranghanda
Pengamat Properti, CEO Indonesia Property Watch (IPW)