Ada anomali terkait kesuksesan peluncuran produk baru yang dilakukan perusahaan pengembang. Umumnya faktor kesuksesan peluncuran produk dinilai dari cepatnya penyerapan produk yang diluncurkan itu bahkan dengan membukukan transaksi penjualan ratusan unit dalam waktu yang relatif singkat.
Hal lainnya yang menandakan kesuksesan peluncuran sebuah produk yaitu harganya yang akan meningkat. Hal ini kerap dilakukan oleh pengembang dengan melanjutkan peluncuran produknya dengan produk baru yang harganya sudah lebih tinggi dibandingkan produk sebelumnya.
Kenaikan harga ini tentunya sangat menarik dari sisi investasi dan biasanya produk yang laris seperti ini memang diburu oleh kalangan investor ketimbang konsumen pengguna (end user). Kesuksesan penjualan produk seperti ini juga kerap membuat pengembang ekstra confident dan terus menaikan harga jualnya.
Menurut Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda, pengembang yang confident dan terus menaikan harga karena respon pasar yang positif tentunya sah-sah saja. Gambarannya, bila pasar masih menyerap untuk produk yang harganya Rp2 miliar kenapa menawarkan produk yang seharga Rp1,5 miliar.
“Dalam situasi ini harga akan terus dinaikkan hingga batas psikologis yang bisa diterima oleh pasar itu sendiri. Harga bisa terus melambung hingga Rp3 miliar tapi harus diperhatikan apakah kenaikan harga itu sesuai nilai pasar atau sudah di atas nilai pasarnya alias over value,” jelasnya.
Saat harga rumah yang awalnya Rp1,5 miliar kemudian terserap dengan cepat dan diluncurkan lagi produk seharga Rp2 miliar di klaster yang sama, kita harus bisa melihat apakah harga ini sesuai nilai pasar atau hasil “gorengan” pengembangnya. Di sisi lain konsumen yang telah membeli tentu merasa senang karena properti yang dimilikinya terus naik harganya.
Pada sisi ini konsumen harus memerhatikan harga riil di kawasan itu salah satunya dengan melihat harga pasaran untuk produk seken yang sejenis. Bila perbedaan antara produk baru (prime) dibandingkan seken sudah terlalu tinggi itu merupakan penanda untuk waspada karena dipastikan harga produk itu telah mengalami over value.
Tentu ada bahayanya untuk situasi seperti ini. Artinya, produk properti yang harganya Rp3 miliar itu bisa jadi hanyalah sebuah nilai tapi bukan harga yang sebenarnya. Nilai sebesar itu saat dijual tetap akan mengikuti harga pasar dan bisa jadi tidak ada pembeli yang mau membayar dengan harga Rp3 miliar itu.
Kenapa bisa seperti itu? Ali memberikan penjelasan karena pasar memiliki ukurannya sendiri dan dalam batas-batas tertentu bila melihat harga yang sudah terlalu tinggi maka pasar akan merespon sebaliknya. Boleh saja nilai yang ditawarkan terus meningkat tapi yang menentukan terjual atau tidaknya tetap pasar konsumen.
“Ini yang membuat pengembang tidak sadar telah masuk ke perangkap pasar dengan situasi kenaikan harga yang terlalu tinggi dan cepat. Situasi ini tentu bisa baik dalam batasan tertentu, tapi juga bisa menjadi boomerang yang berbahaya kalau tidak bisa mengelolanya,” pungkasnya.