Strategi yang diikuti dengan perencanaan matang merupakan bagian penting untuk terlaksananya sebuah program. Untuk perumahan, pemerintah memiliki program besar pembangunan 3 juta rumah per tahun sebagai peningkatan dari program sebelumnya 1 juta per tahun.
Semua pihak khususnya stakeholder perumahan diharapkan memberikan kontribusi terbesar untuk progam ini. Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Ossy Dermawan menyebut setidaknya ada tiga pilar utama yang bisa dijadikan pendekatan strategis untuk mendukung penyediaan program perumahan.
Terkait strategi tiga pilar utama ini disampaikan Ossy saat menjadi pembicara di diskusi ‘Homes Within Reach: Pathing Our Way to Affordable, Connecter Urab Living’ yang merupakan rangkaian International Conference on Infrastructure (ICI) 2025 beberapa waktu lalu.
“Untuk memastikan dan mendorong program perumahan ini berjalan harus dipahami kalau perumahan terjangkau itu bukan sekadar bangunan tapi merupakan bagian dari kehidupan kota yang layak dan terhubung (connected). Kami mengusung tiga pilar utama yaitu pengembangan dan konsolidasi tanah, pembangunan berorientasi transit atau TOD, dan perencanaan spasial terpadu,” bebernya.
Bila dirinci, pilar pertama yang merupakan pengembangan dan konsolidasi tanah merupakan hal mendasar yang harus bisa disediakan untuk memastikan penyediaan pengembangan hunian terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Kondisi ini merupakan permasalahan yang kompleks dan tidak dapat dipisahkan dari isu pertanahan, konektivitas, serta tata ruang.
Melihat situasi ini Kementerian ATR/BPN menerapkan strategi yang bersifat holistik dan lintas sektor. Hal ini untuk menembus berbagai kendala utama dalam penyediaan hunian di perkotaan yaitu ketersediaan lahan yang terjangkau, bebas sengketa, clean and clear.
Untuk itu perlu didorong konsolidasi lahan sesuai Peraturan Menteri ATR/BPN No. 12 Tahun 2019 dan No. 18 Tahun 2024. Dengan konsolidasi lahan akan bisa diorganisir berbagai bidang lahan yang selama ini terfragmentasi menjadi kawasan pembangunan yang terencana sehingga memungkinkan penyediaan perumahan yang lengkap dengan infrastruktur tanpa menghilangkan hak masyarakat.
Pilar kedua mengenai penerapan prinsip pengembangan kawasan transit atau TOD. Pengembangan kawasan hunian perkotaan harus diterapkan dengan mengintegrasikan perumahan, pusat bisnis, layanan publik, dan sebagainya di lokasi sekitar simpul transportasi masal dalam radius berjalan kaki hingga maksimal 800 meter.
Sebagai contoh kawasan TOD di Dukuh Atas dan Harmoni yang telah menjadi pusat integrasi berbagai moda transportasi sekaligus kawasan hunian inklusif. Pada akhirnya kawasan TOD bukan sekadar solusi spasial tapi juga keadilan sosial karena ketika masyarakat tinggal dekat dengan transportasi dan tempat kerjanya maka tidak akan lagi menanggung beban waktu maupun biaya untuk transportasi. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga bisa dilakukan dengan dekat dan mudah.
Sementara pilar terakhir yaitu penyelartasan perencanaan spasial dengan kebijakan pembangunan perumahan nasional. Kementerian ATR/BPN telah mengintegrasikan berbagai isu perumahan dalam kerangka tata ruang nasional termasuk memperimbangkan aspek lingkungan, risiko bencana, serta potensi ekonomi lokal.
“Melalui penerapan sistem geospasial terintegrasi kami bisa memastikan bahwa pengembangan perumahan bisa benar-benar selaras dengan tujuan nasional baik dari sisi lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Harus dipahami kalau rumah terjangkau bukan sekadar soal harga tapi juga tentang keadilan dan martabat,” pungkas Ossy.