Oleh:
Muhammad Joni, SH. MH Advokat di Jakarta, peminat bidang perimahan dan perkotaan, Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara
Mencari cercah nilai keajaiban. Mencari portofolio kebahagiaan. Memungut tangkapan nilai (value capture)-nya Milan.
Saya melibatkan “kawan” dekat, dia adalah buku hebat, demi mengutip testimoni. Dari buku ukuran pendek alias mini. Buku terbitan tahun 1971. Judulnya apa?
Sabar sebentar. Teruslah membaca. Buku itu usianya panjang. Terasa dari hawa bau helai-helai kertas. Gaya huruf. Jenis ketikan. Juga, edjaan. Kerutan dan tampilan luntur warna ungu-kuning, bercak di kulit buku. Jangan hakimi takdir buku dari lisut kulitnya. Dari ukurannya yang pendek. Tenaganya luar biasa.
Buku pendek juncto gaek itu berujar-cerita inspiratif. Imajinasi yang panjang perihal ajaibnya Senen di ujung mata pena algoritma sang seniman. Kedua: Senen dan Seniman itu ajaib, dan tetap hidup!
Ini alkisah ajaibnya seniman dari angkatan Senen. Pembesar sastra bernama Misbach Jusa Biran berhasil usil dan asyik menggelitik. Menyanjung ‘Glory of Senen’. Lahan kawasan Senen adalah faktor pembesar harga di ibukota Jakarta. Senen yang berharga. Ada faktor Land Value Capture di Senen karena lokasinya menempel segitiga mutiara: Menteng, Thamrin, dan istana. Itulah keajaiban Senen.
Kembali kepada keajaiban Senen versi Misbach Jusa Biran. Ada-ada saja inspirasi pemantik cerita, yang tak terbayangkan apa menjadi ending-nya. Pun ketika kelok alur ceritanya sudah lewat paragraf babak pertengahan. Seperti sopir tak sanggup menduga mobil apa di muka, hanya melihat awan, tatkala melewati gelombang panjang jalan lintas Sumatera yang mulus, namun naik mendaki bak busur montok. Rambunya tegak, kuning mencolok. Cerita pemantik jiwa penasaran.
Ada alkisah si kerempeng Rebin. Dia seniman subsider pelukis. Pelukis yang difigurkan malang dan sekaligus sosok yang ajaib. Rebin bukan Robin. Dia tak pandai melukis sejak kecil. Namun nasib memang ajaib, Rebin menjadi pelukis ajaib seketika.
Bukan anak Binjai, Rebin acuh saja kepada olok-olokan rombongan seniman Senen. Pernah, tetiba satu lukisan Rebin menjadi kejadian ajaib. Dirancang hendak menganiaya semangat juang dan pabrik senyum milik Rebin. Lukisannya digantung terbalik. Itu aksi frontal mengolok-olok karya Rebin. Di tengah pesta pameran lukisan.
Ajaibnya, se-suku jam (15 menit) setelah lewat pembukaan pameran, lukisan digantung terbalik-yang tak diketahui Rebin itu-berubah ajaib. Laku dengan harga ajib. Seniman Senen geger dalam alibi “Miracolo a Senen Radja” (MaSR).
**
Mau tahu harga senyum? Harga ajaib dari senyum ajaib. Bacalah “MaSR”. Harganya setara seisi dunia. Seperti bait puisi seniman Janto ke NZ: Nunung Zubaedah. Bait itu bunyinya:
“Surga di tangan kananku/ Seluruh dunia di tangan kiriku/ Kalau balas saja senyumku, sayang…”.
Buku “MaSR” ini bukan judul asli, mengikuti film lama berjudul “Miracolo a Milano”-Keajaiban Milan-itu karya lama (1951) sutradara Italia Vittoria de Sica.
Seni dan seniman memang ajaib. Apakah keajaiban Senen, masih ada? Ada! “Beli Apartemen Dapat Kereta”, kata Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) saat ground breaking proyek TOD (Transit Oriented Development) Stasiun Pasar Senen, 10-10-2017.
Sontak saya hendak mengambil “Beli Apartemen Dapat Kereta” (BADK) menjadi judul buku. Saksi dengarnya Juneidi D. Kamil, litigator banking specialist yang kolumnis produktif beberapa majalah properti.
TOD Senen dan “BADK” itu bak energi kebangkitan ‘Miracolo a Senen Radja’. Macam sesi eksepsi-bantahan kepada S.M. Ardan yang menyetujui Misbach Jusa Biran, bahwa keajaiban Senen telah tamat –‘The Glory is Over’– dalam tulisan ‘Sekedar Pengantar’ untuk buku “MaSR”.
Pembaca yang bersemangat. Kalau Rebin masih ada di era IG-mania, dari “ajaibilitas” karya lukisannya, saya percaya dia sudah membeli kereta, eh, apartemen di Senen.
Jika dikonversi ke dalam “kurs” imajinasi, “Beli Apartemen Dapat Kereta” itu, alahai tidak lebih ajaib daripada nilai juncto harga senyum ajaib Puan NZ kepada Mas Janto. Harusnya kita belajar kepada Janto perihal reproduksi enzim bahagia.
Timbang dan dengarlah kata-kata Mas Janto berikut ini: “…kalau orang tidak punya rasa romantis, ia akan kaku seperti Nero”. Kawan seangkatan Janto menimpali, “..kalau Nero itu bisa menghargai dan memudja ketjantikan Nunung Zubaedah, pasti kota Roma tidak akan terbakar”. Akankah figur pemuja keindahan seperti Janto-sosok tukang senyum pengeritik Nero itu-cocok menjadi Menteri Kebahagiaan?
Malam itu buku “MaRS” tergeletak di meja. Bercahaya di bawah sorot sinar kamera. Seperti sang bintang. Saya mereguk kopi. Mencari sisi ajaib kaldu rasanya. Sembari berusaha menikmati kelat-manis dari specialty gayo long berry. Dengan senam syaraf akrobat lidah setengah terbalik. Ikhtiar mempertahankan atau menihilkan elektabilitas satu-satunya karakter “?” pada paragraf di atas.
Membaca esai ini esok: saya memungut tiket ke Milan, ups…, keajaiban; bahwa mereguk portofolio kebahagiaan tak harus ke Milan. Walau banyak jalan menuju Milan via Medan. Tahukah pembaca, angka ‘7’ itu karakter yang tulus menaungi sesiapa saja, yang jangkauannya lebih jauh melampaui tapaknya sendiri. Ajib dan ajaibnya tak perlu dibalik, seperti lukisan Rebin. Adakah itu semacam 7-7 value capture. Seperti bait puisi untuk NZ saja. Miracolo a 7-7 (“Ma77”).
Seperti halnya puisi dan lukisan, imajinasi non bendawi apartemen menjadikannya karya cipta ajaib. Tersebab itu, value capture-nya bernilai mahal.