Untuk mendukung target nasional dalam penurunan emisi karbon dan pembangunan berkelanjutuan (sustainability development), Kementerian Pekerjaan Umum (PU) terus mendorong penerapan prinsip-prinsip Bangunan Gedung Hijau (BGH) di sektor properti dan konstruksi khususnya pada bangunan swasta maupun milik pemerintah.
Langkah ini sejalan dengan Strategi PU 608 yang menargetkan penurunan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) di mana salah satu rasionya mengukur efisiensi investasi terhadap pertumbuhan output ekonomi rendah karbon pada investasi sektor properti dan bangunan gedung.
Menteri PU Dody Hanggodo menegaskan komitmen itu untuk menurunkan nilai Rasio Kapital-Output Tambahan atau ICOR melalui Strategi PU 608. ICOR merupakan rasio yang menunjukkan efisiensi investasi terhadap pertumbuhan output ekonomi.
“Kami di Kementerian PU memandang ICOR sebagai tolok ukur strategis dan kami tidak hanya berbicara tentang efisiensi investasi tetapi benar-benar turun ke lapangan untuk mengetahui penyebab utama tingginya ICOR,” kata Dody.
Berdasarkan laporan The Global Status Report for Buildings and Construction 2022 dari United Nations Environment Programme (UNEP), sektor properti dan konstruksi menyumbang sekitar 37 persen emisi CO2 dunia, termasuk dari konsumsi energi operasional bangunan serta proses produksi material seperti semen dan baja.
Karena itu infrastruktur dan bangunan harus menjadi bagian dari solusi dan penerapan BGH menjadi salah satu strategi nyata untuk mendorong pertumbuhan ekonomi rendah karbon. Pemerintah sendiri menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 31,89 persen secara mandiri dan 43,2 persen dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Wakil Menteri PU Diana Kusumastuti menambahkan, seiring dengan target tersebut kementerian telah menyusun dan mengatur pemenuhan standar teknis bangunan gedung hijau dan bangunan gedung cerdas (BGC) melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 Tahun 2021 dan diturunkan lebih lanjut dalam Permen PUPR No. 21 Tahun 2021.
“Bangunan gedung hijau wajib memenuhi kinerja efisiensi sumber daya dengan target konservasi energi sebesar 25 persen dan konservasi air minimal 10 persen. Standar ini juga mewajibkan penerapan prinsip ramah lingkungan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan konstruksi, hingga operasional gedung,” jelasnya.
Terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mereduksi operational carbon seperti mengubah perilaku menjadi lebih hemat penggunaan energi dan mengganti sumber energi dengan energi terbarukan. Sementara untuk mereduksi embodied carbon dapat dilakukan melalui penerapan prinsip lean construction dan penggunaan material lokal.
“Teknologi juga turut berperan penting pada penerapan standar teknis BGH dan BGC serta penyelenggaraan konstruksi Lean Construction. Salah satunya melalui Building Information Modelling (BIM). Kami juga mengajak seluruh stakeholder di bidang konstruksi dan properti termasuk Indonesia Property Management Association untuk berperan aktif dalam membangun ekosistem bangunan gedung hijau yang efisien, tangguh, dan berkelanjutan,” imbuh Diana.
Pada akhirnya komitmen pengembangan ekosistem bangunan hijau ini merupakan bentuk konkret dan sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai Paris Agreement yang telah diratifikasi melalui UU No. 16 Tahun 2016.