Properti disebut sebagai investasi yang tidak akan merugi karena anggapan tanah yang tidak bisa bertambah, di sisi lain permintaan akibat dari pertambahan penduduk akan terus meningkat. Jumlah penduduk yang besar dan masih lebih sedikit porsi orang yang memiliki rumah dibanding yang belum membuat properti menjadi sektor yang pasti akan terus bertumbuh.
Bagaimana memahami industri ini khususnya bila dikaitkan properti sebagai instrumen investasi? Apa betul produk properti nilainya tidak akan pernah turun? Menurut pengamat properti dan CEO Panangian School of Property Panangian Simanungkalit, produk properti itu investasi yang sifatnya jangka panjang dan sifat produk ini yang bisa dibeli kapanpun karena harganya pasti akan naik.
“Yang harus diperhatikan itu kalau kita berniat membeli produk properti untuk digunakan sebagai membiakkan uang atau kekayaan seperti instrumen investasi yang lain, di situlah perlunya kita memahami industri ini karena properti itu sangat terkait dengan timing supaya bisa mendapatkan imbal hasil atau return yang maksimal,” jelasnya.
Soal siklus di bisnis properti bisa dilihat dengan beberapa masa seperti saat naik (booming), turun (resesi), kontraksi (penciutan pasar), dan pemulihan (revival). Setiap fase umumnya bisa berlangsung selama 2-3 tahun tergantung situasi dan berbagai pendukung ekonomi lainnya. Konsumen maupun investor perlu memahami ciri setiap fase tersebut untuk memutuskan kapan melakukan transaksi yang tepat.
Lebih jauh lagi kita bisa menelaah berbagai ciri maupun fase tersebut. Saat booming atau peak misalnya, itu ditandai dengan likuiditas yang longgar, inflasi dan suku bunga yang rendah. Artinya, ada banyak orang yang memegang uang atau likuiditas dan ingin membeli barang sehingga pada fase ini kalangan pengembang akan berpesta dengan tingkat penjualan yang besar. Situasi ini juga disebut sebagai seller market (pasar penjual).
Pahami juga kalau setiap fase bisa saling terkait. Masa booming misalnya, itu akan diikuti dengan tingginya permintaan (demand) dan ini akan sulit diimbangi oleh pengembang karena membuat produk properti butuh waktu. Alhasil, produk yang ditawarkan masih berupa gambar dan ini sudah diserbu oleh konsumen. Hargapun naik, inflasi mulai terkerek, diikuti dengan kenaikan bunga dan pengetatan kredit yang membuat konsumen mulai menunda pembelian.
Dampaknya penjualan pengembang menjadi menurun, suplai di pasar melemah, kegiatan launching produk semakin jarang. Developer kemudian mulai mengimingi konsumen dengan berbagai insentif dan kemudahan untuk menahan penurunan itu. Inilah yang kemudian menjadi masa konstraksi atau weak market dengan penurunan yang akan terus berlangsung ditandai dengan likuiditas ketat, properti masuk ke masa resesi dan fase ini masuk ke masa buyers market (pasar pembeli).
Nanti situasi yang memburuk ini akan membaik lagi setelah inflasi dan suku bunga kembali kontraksi dan likuiditas mengendur. Pada situasi ini kita masuk ke fase pemulihan atau soft market (pasar lunak) dan berbagai fase ini akan terus berulang. Pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu misalnya, menjadi salah satu faktor yang membuat fase konstraksi ini berlangsung lebih lama.
“Prinsipnya kita harus pahami siklus-siklus bisnis properti ini, kita harus tahu kapan sebaiknya menjual, membeli, menahan, atau menukar (switch). Beli saat buyers market, jual saat sellers market, tahan saat weak market, dan tukar dengan yang baru saat soft market karena produk yang kita pegang itu sudah menurun pertumbuhan nilainya,” beber Panangian.