Oleh:
Muhammad Joni, Ketua Masyarakat Konstitusi Indonesia (MKI), Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (PP IKA USU)
Esai pendek ini perpanjangan kehadiran diri sebagai kata-kata tahniah kepada abah: Prof. Dr. Edy Ikhsan, SH. MA atas helat pidato pengukuhan guru besar hukum tanah adat pada prodi Magister Kenotariatan (MKN) Universitas Sumatera Utara, di bawah judul tak biasa: “Ayam Mati di Lumbung Padi: Kepingan Sejarah Terkuburnya Tanah Adat Orang Melayu di Pesisir Timur”.
Di tangan Edy, mimbar ilmiah pidato guru besar yang mengambil tamsilan “ayam mati di lumbung padi” menjadi nalar hukum yang hidup, mengena karena apa adanya, dan lumbung informasi sejarah, hukum, dan politik hukum yang bergizi, dengan pilihan aksen diksi Melayu yang steady.
Gaya penulisan pidato akademis sang datok Melayu Kota Pinang ini konsisten mengikuti titel disertasinya yang juga memetik seloka: “antan patah, lesung pun hilang”.
Izinkan amba berkata dengan logika yang agak tendensius, meminjam frasa Prof. Edy, hatta perjuangan atok Raffa ini kudu dilanjutkan merawat “antan”. Ya, perjuangan yang bernilai: prompt, adequate and effective, jika memakai dalil Kollowijn, guru besar berkebangsaan Belanda yang dikutip dalam pidato Edy menjadi klop. Perjuangan hukum atas keadilan tanah tak boleh titik. Keadilan jangan dipagar!
Nun sejak lama, amba menginsyafi hal ini soal hukum yang sulit dan rumit yang nyata sebagai satu kekusutan hukum. Namun jika berkehendak pada kebajikan, tentu kekusutan hukum bisa direstorasi dengan perkakas nalar hukum dari mazhab socio-legal yang tabah dan loyal dianut akademisi organik Prof. Edy. Berarsiran dengan jurus rekonstruksi keadilan substansial yang bercirikan Critical Legal Studies (CLS).
Menguji Nalar Nasionalisasi
Pidato pengukuhan ini bukan hanya narasi biasa, tidak pula prosesi ala “mainan dunia” kaum terpelajar, namun ikhtiar amaliah menegakkan hukum berkeadilan mulai dari pemikiran subsider kampus. Hukum berkeadilan itu identitas konstitusi (constitutional identity).
Nun, pernah Pak Pelzer memuja Deli, Serdang dan kawasan sekitarnya tanah yang menggiurkan, yang direbutkan jamak kerajaan lokal, juga bangsa kolonial. Tarik menarik antara Kerajaan Siak, Johor dan Aceh pada abad ke 16, 17 dan 18. Tak hanya lokal, bahkan kompetisi politik ekonomi antara Belanda dan Ingggris yang berujung dengan Traktat London, 1824. Itu bukti betapa berharga wilayah ini di mata orang luar, begitu ulasan Edy Ikhsan.
Pasca proklamasi kemerdekaan dan pengakuan kedaulatan sejak akhir 1957, kebanyakan perusahaan perkebunan diambil alih oleh negara. Akibatnya, penataan kembali hubungan-hubungan antara negara, perkebunan dan petani dengan pembaruan perundang-undangan agraria menjadi tak terelakkan.
Dari pidatonya Prof. Edy menguak lima alasan mengapa nasionalisasi perkebunan milik warganegara Belanda di tahun 1957 bertentangan dengan hak asasi rakyat dan Kesultanan Melayu, utamanya Deli, Serdang dan Langkat.
Satu diantaranya dari dalil akademis Robert van De Waal dalam disertasinya menyebutkan: “de landbouw concessie is een persoonlijk recht, berustend op een overeenkomst tussen de Sultan en de concessionaris” (konsesi perkebunan adalah hak perseorangan yang bersandar kepada perjanjian antara Sultan dan pemegang konsesi).
Diulas lugas van De Wall bahwa Kesultanan Deli, Serdang dan Langkat yang mencakup ratusan perkebunan tidak ada satupun yang berbentuk hak erfpacht. Namun dengan UU Pokok Agraria No.5/1960 dikonversi menjadi Hak Guna Usaha (HGU). Padahal perjanjian konsesi itu adalah perjanjian yang tidak mengubah hak.
Amba bangga dengan sikap akademis lugas Prof. Edy, senior saya di HMI dan LAAI (Lembaga Advokasi Anak Indonesia). Dalil Prof Edy sebangun dengan van de Wall bahwa konversi konsesi menjadi HGU pada nasionalisasi tahun 1958 tidak mempunyai dasar hukum yang kuat. Itu pengambil-alihan tanah-tanah eks konsesi yang bukan milik perusahaan kompeni.
Lantas apa dasarnya UU nasionalisasi menjadikannya kausal kepemilikan tanah eks konsesi dialihkan ke Pemerintah Indonesia? Membaca itu, saya soor dan terpada. Bagi saya, dalil Prof. Edy ini berani, apa adanya dan bertenaga. Bergizi untuk perjuangan konstitusional memulihkan hak tanah adat Melayu. Pada posisi itu patut patik mendukung 100 persen Prof. Edy.
Amba membayangkan jagat 062 surplus nalar keadilan atas tanah adat tatkala kita semua tanggung renteng menenteng soal konstitusionalitas hak tanah adat Melayu ini ke “jaluran” peradilan konstitusional. Jurus yang kudu terus dipupuk dan dipujuk agar konstitusi negara dan takwilnya tak nak membunuh seekor ayampun dan tak mematahkan sebatang antan.
Analog dengan hukum kekekalan energipun berlaku hukum kekekalan hak atas tanah, sebagai saripati hukum yang murni dan masih diakui. Eureka: kiranya ikhtiar bertendensi complaint constitusional itu bisa pula membawa serta Hans Kelsen, Killowijn, Mahadi, OK Saidin, Afnawi Noeh, dan tentu saja Ayah Edy ke persidangan menafsir ulang nalar legal yang kusut, lusuh, dan lunglai norma UU Nasionalisasi. Khususnya konstitusionalitas hak tanah Melayu yang menurut nalar Prof. Edy: belum menghargai hak kepada yang berhak.
Prof. Edy lahir, tumbuh, mengajarkan dan mendalilkan solusi, yakni realisasikan hak tanah adat Melayu yang dihargai: prompt, adequate and effective compensation. Tentu, hak yang ditunaikan kepada yang berhak, bukan kepada yang bukan. Apalagi bukan-bukan.
Dari jejak wasilah dan watak Abah Edy yang saya kenal, pastinya, amba percaya pidato Prof. Edy ini tak cuma forum pidato. Tapi sebagai sikap posisi dan agenda juang. Lebih dari logika positif yang tendensius, akan tetapi aksi kepada advokasi keadilan substantif yang harus! Agar ayam tak lagi mati di lumbung padi. Tak nak patah antan di tanah bertuah. Tersebab wasilah Prof. Edy Ikhsan yang kini menjabat Wakil Rektor Universitas Sumatera Utara. Agar tanah adat Melayu tak lagi ironi di bumi sendiri. Tabik.