Judul opini ini mungkin dinilai menjadi analisis opini yang goyah. Namun pro kepada perumahan rakyat itu konstitusional yang tak goyah. Tak banyak negara punya konstitusi yang bunyinya menjamin perumahan seperti Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Saya menobatkannya konstitusi perumahan.
Tak kepalang tanggung, target pembangunan 3 juta rumah masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang dijanjikan Prabowo Subianto, presiden terpilih 2024-2029. Bukan janji retoris, program 3 juta rumah itu gagah dalam visi dan misinya.
Mungkinkah itu masih program yang payah dan goyah? Bukankah program sejuta rumah (PSR) untuk MBR, sekali lagi MBR: masih terengah-enggah? Walau hak bertempat tinggal bunyi dalam konstitusi, namun realisasinya terengah-payah, berjalan namun goyah. Pakar menyebut analogi perumahan masih pilar goyah negara kesejahteraan (wobbly pillar of welfare state).
Hendak melonjakkan statistik penyediaan 300 persen unit PSR dari era Jokowi, pembangunan 3 juta rumah itu melonjakkan sorotan ke fitur pembangunan perumahan rakyat sebagai kebijakan publik. Saya suka isu perumahan rakyat menyala bersama asa kepada pemerintahan baru.
Walaupun ada yang bersemangat memosisikannya sebagai dasar melebarkan ruang fiskal, dan tentu saja cuan sektor perumahan. Bak gayung bersambut, sontak muncul gagasan-cum-usul kebijakan yang beragam: dana abadi, urban fund, percepatan dengan segerakan kelembagaan baru. Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3) yang sudah kuat basis legalnya, minta dijalankan, bahkan mengajukan proposal kementerian perumahan.
Akankah itu menjadi momentum penting percepatan pembangunan perumahan MBR. Bahkan, patut diikhtiarkan daya ungkit pembangunan perumahan MBR menjadi jurus andal meningkatkan kesejahteraan perumahan dan mengentaskan kemiskinan perumahan.
Namun, perlu dorongan publik dan inisiatif politik agar tercipta lompatan besar yakni transformasi kebijakan, program, sistem pembiayaan, penyediaan tanah, dan menghapuskan berbagai hambatan.
Berikut ini selusin catatan transformasi perumahan rakyat/MBR:
Pertama, percepatan transformasi kelembagaan (institutional transform of public housing), dengan menyegerakan mandat UU membentuk BP3 (Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan) dengan kapasitasi, sinkronisasi tugas, dan kewenangan BP3 termasuk bertindak sebagai bank tanah untuk perumahan MBR. Kata kuncinya percepatan, yang klik dengan mandat BP3. Dengan transformasi kelembagaan BP3 ini, dilanjutkan transformasi kebijakan yang simultan dan sinergis berikut ini;
Kedua, percepatan transformasi penyediaan tanah dengan transformasi badan bank tanah yang memprioritaskan alokasi penyediaan tanah untuk perumahan MBR ke dalam dokumen Rencana Induk Badan Bank Tanah. Tidak berlebihan segera meluaskan model kebijakan Reforma Agraria perkotaan untuk perumahan MBR yang terbukti efektif dan dapat dikerjakan;
Ketiga, percepatan transformasi sistem pembiayaan perumahan termasuk menguatkan BP TAPERA dengan mengajak stakeholder (representasi pekerja, pemberi kerja, dan masyarakat) ke dalam struktur BP TAPERA. Penting mengefektifkan tugas BP TAPERA dalam mengerahkan dana TAPERA, pengelolaan dan pemanfaatannya. Serta aksi efisiensi biaya dengan rasionalisasi peran Manajer Investasi swasta/komersial dengan menyediakan manajer investasi publik BP TAPERA;
Keempat, percepatan transformasi kemudahan pembiayaan dengan jamak alternatif skema pembiayaan dan efisiensi cost of fund dan cost of capital yang membebani lembaga bank untuk perumahan MBR.
Kelima, percepatan transformasi pembangunan perumahan MBR di daerah, dengan mengefektifkan akses daerah dan menguatkan pemerintah daerah (Pemda) dengan cara menghapuskan hambatan urusan pemerintahan konkuren pemda propinsi dan kabubaten/ kota dalam daftar lampiran urusan konkuren dari UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda). Lampiran Urusan Pemerintahan Konkuren UU Pemda sudah saatnya direvisi dan atau diuji materil agar sesuai dengan Pasal 12 ayat (1) huruf c Juncto Pasal 11 ayat (2) Juncto Pasal 9 ayat (3) UU Pemda. Saya siap menguji norma UU itu agar memberi kepastian hukum Pemda, termasuk adanya kenyamanan, dan inovasi dalam transformasi kebijakan keungan daerah dalam APBD untuk perumahan MBR di daerah;
Keenam, percepatan partisipasi pelaku pembangunan (public and private participation schemes for public housing) termasuk menyegerakan realisasi kewajiban hunian berimbang sesuai hukum dan berkeadilan untuk mengatasi backlog dan target 3 juta rumah MBR;
Ketujuh, percepatan ketersediaan aturandan kepastian hukum dengan menyegerakan transformasi kerangka hukum perumahan rakyat cq. MBR yang menghambat dan mengalami kekosongan normatif yang menimbulkan ketidak pastian.
Kedelapan, percepatan pembangunan perumahan yang mengintegrasikan urban renewal dan penataan hunian perkotaan dengan melibatkan partisipasi otentik masyarakat dan stakeholder dalam perencanaan maupun pembangunan, dan termasuk menyegerakan UU Pembangunan Perkotaan.
Kesembilan, percepatan pemberdayaan MBR dengan menyediakan skema bisnis yang mengintegrasikan MBR dalam kesempatan berusaha dan bekerja untuk meningkatkan daya beli, daya cicil dalam memenuhi kebutuhan dasar atas hunian yang layak dan terjangkau;
Kesepuluh, percepatan keberlanjutan pemenuhan kewajiban pemerintah dan pemda memenuhi bantuan dan kemudahan yang ditentukan Pasal 54 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP).
Kesebelas, percepatan keberlanjutan sinergi antar kementerian dan lembaga dalam pembangunan perumahan MBR, termasuk BP3, badan bank tanah, BP TAPERA, Perum Perumnas, BUMN, BUMD, bank dan nonbank, badan tertentu seperti SMI, SMF, asosiasi perumahan (REI, APERSI, HIMPERRA), lembaga profesi, perguruan tinggi, lembaga perlindungan konsumen, dan NGOs seperti The HUD Institute.
Keduabelas, percepatan perlindungan konsumen perumahan dan pemberdayaan MBR.
Walau kini masih dalam relasi perlindungan yang timpang dan asimetris, namun konsumen MBR pun adalah pelaku penentu. Katena itu konsumen terlindungi, ekosistem pembangunan perumahan tumbuh berkelanjutan. Bagaimana bisa ekosistem yang sehat dan developer/produsen yang kuat, tanpa konsumen akhir yang berbelanja tak hendak dilindungi. Apa jadinya produsen sediakan 3 juta rumah tanpa belanja konsumen? Saatnya mengokohkan pembangunan perumahan rakyat agar tidak lagi pilar goyah negara kesejahteraan.
Oleh:
Muhammad Joni, SH.MH, Praktisi Hukum Perumahan, Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Alumni Unjversitas Sumatera Utara