Legalitas sebuah produk terlebih produk properti menjadi sangat penting untuk menjamin kepemilikan kita terhadap properti tersebut. Sertifikat untuk kepemilikian properti seperti perumahan maupun apartemen juga bernilai tinggi karena bisa diagunkan untuk mendapatkan dana pinjaman dari bank.
Hanya saja untuk legalitas unit apartemen ada perbedaan dengan sertifikat rumah biasa. Kalau rumah tapak sertifikatnya bisa langsung keluar saat dibeli, untuk apartemen prosesnya akan lebih panjang. Hal itu dikarenakan unit apartemen memiliki area maupun fasilitas bersama karena apartemen dibangun untuk unit yang banyak di atas lahan bersama yang luasannya terbatas.
Menurut Eddy M. Leks, Managing Partner Leks&Co Lawyers, sebuah firma hukum di Jakarta, selama ini yang membuat penerbitan sertifikat apartemen lebih lama karena harus menyelesaikan seluruh proyek apartemen di lokasi tersebut. Bila suatu kawasan akan dibangun lima tower apartemen maka sertifikatnya harus menunggu selesai seluruh lima tower tersebut terbangun.
“Padahal semestinya penerbitan sertifikatnya bisa juga dilakukan secara bertahap seiring selesainya salah satu tower apartemennya. Tapi pada praktiknya, kalangan pengembang umumnya melakukan pertelaan sebagai prasyarat untuk dikeluarkannya sertifikat itu dengan menunggu sampai seluruh proyeknya selesai. Ini biasanya terkait adanya perubahan konsep saat proyek dikerjakan, kalau pertelaan dilakukan di awal maka itu akan mengingat dan mengunci proyeknya dan tidak bisa lagi diubah,” jelasnya.
Situasi ini kian diperparah dengan regulasi maupun aturan turunan dari undang-undang (UU) rumah susun (rusun) yang hingga saat ini belum tersedia sehingga kalangan pengembang bisa menafsirkan sesukanya aturan yang ada. Salah satunya adalah penerbitan sertifikat apartemen yang harus menunggu pengembangan seluruh proyek selesai.
Prosesnya setelah proyek selesai, pengembang baru melakukan pertelaan untuk menentukan nilai perbandingan proporsional (NPP) dan mengajukann pemecahan sertfifikatnya ke institusi terkait. Karena itu dibutuhkan pemahaman yang lebih mendalam khususnya bagi konsumen sehingga bisa mendorong pengembang untuk melakukan penerbitan sertifikat unitnya secara bertahap seiring proses serah terima unit apartemen pertama mulai dilakukan.
Pada akhirnya, lamanya penerbitan sertifikat apartemen ini dari sisi hukum juga sangat dimungkinkan karena hukum yang mengatur soal rusun ini belum detail menerapkan aturan terhadap janji serah terima sertifikat unit. Belum ada perangkat hukum yang mewajibkan sertifikat harus terbit dalam jangka waktu tertentu dan pihak regulator atau pemerintah daerah belum melakukan pengawasan secara benar.
Akhirnya seperti praktik sekarang ini, konsumen harus menunggu kendati unit apartemennya sudah dihuni lama dan untuk ditransaksikan unitnya tersebut hanya berpedoman pada akte jual beli (AJB).
“Konsumen terpaksa menunggu karena ini juga tercantum di perjanjian pengikatan jual beli (PPJB). Makanya kita harus cermat membaca PPJB dan perhatikan betul klausulnya, sepanjang klausulnya positif untuk kita misalnya kalau proyek tidak jadi dibangun uang dikembalikan 100 persen dan lebih bagus lagi bila ada janji penerbitan sertifikatnya berapa lama. Kalau klausulnya merugikan lebih baik minta aturan baru atau tidak usah membeli karena begitu kita tanda tangan sifatnya akan mengikat secara hukum,” beber Eddy.