Presiden Prabowo Subianto telah diambil sumpahnya pada 20 Oktober 2024 untuk menjadi pemimpin negeri ini hingga 2029. Dalam pidato patriotiknya, Presiden Prabowo “melantik” haluan pemimpin bekerja untuk rakyat! Rakyat yang bebas dari kemiskinan! Tugas pemimpin mengubah yang dulu tak mungkin menjadi nyata-terbukti. Pidato heroik Prabowo verbatim tanpa teks justru menginginkan rakyat tersenyum.
Sontak jantung saya happy dan tersenyum. Auto teringat program 3 juta rumah: 2 juta di perdesaan, 1 juta diperkotaan. Dalam lima tahun ada program 15 juta Rumah Prabowo untuk rakyat. Rakyat yang tersenyum karena merdeka dari kemiskinan perumahan.
Presiden Prabowo Subianto bertekad membawa perumahan rakyat ke episentrum pembangunan nasional dan itu tepat. Meningkatkan kesejahteraan perumahan pro rakyat hendak menjadi bagian terbesar Kepresidenan Prabowo. Itu mandat konstitusional.
Mengumandangkan ‘pemimpin bekerja untuk rakyat’, itu ikhwal menghidup-hidupkan kaidah konstitusi perumahan rakyat semakin bertumbuh-cum-berkembang menjadi ‘living tree constitution’.
Prabowo Subianto Presiden baru 20 Oktober 2024. Ada harapan lebih dari itu presiden yang mulai dari visinya bertekad dengan haluan baru perumahan rakyat. Haluan perumahan dan permukiman yang lebih dari hanya mengurus lika liku statistik backlog.
Program andalan 15 juta Rumah Prabowo (‘P15RP’) itu angka yang hendak menguatkan pilar goyah hak atas hunian. Bayangkan, target P15RP itu melampaui 12,7 juta unit defisit rumah atau backlog. Backlog adalah gap antara produksi dengan permintaan akan rumah yang tak lain perumahan formal.
Statistik backlog yang selama ini menjadi sentral analisis mengatasi “abc-xyz” problematika perumahan rakyat, kini bergeser haluan. Karena menekankan intervensi 2 juta perumahan di perdesaan yang berhaluan perumahan swadaya yang menjemput partisipasi komunitas.
Program Sejuta Rumah (PSR) yang difasilitasi dengan FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) beserta Dana Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) yang dominan perumahan formal, walau grafik angka backlog bagaikan tamsilan “bak air tak penuh-penuh” untuk memenuhi kebutuhan hunian yang layak dan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), pun masuk ke lapisan non MBR.
Diagnosa ikhwal backlog dijawab standar dengan penyediaan Dana FLPP dan turut pula ada Dana TAPERA yang masih bertumpu pada dominasi perumahan formal. Profil dan cakupan fiskal perumahan swadaya-cum-komunitas belum menjadi andalan walau perumahan swadaya mandatori UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
BAPPENAS mencatat postur perumahan swadaya/swakarsa itu menyumbang paling besar 82,5 persen dari profil perumahan di negeri ini. Dari rakyat membangun rumah rakyat, membutuhkan inovasi dan kolaborasi developer pun pemerintah dan pemerintah daerah (Pemda) mengoptimalkan pranata baik dan kearifan lokal.
Pun administrasi dan pendaftaran hak tanah ulayat masyarakat hukum adat yang kini semakin diakui ketika Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Agus Harimukti Yudhoyono yang kini Menko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan Kabinet Merah Putih.
Jika mencerna data Susenas (2022, Modul Kesehatan dan Perumahan) yang dihimpun The HUD Institute, bahwa kontribusi masyarakat membangun perumahan dan permukiman mandiri alias swadaya itu sebesar 82,68 persen. Kontribusi masyarakat perkotaan (76,27 persen), sedang pedesaan lebih besar lagi (90 persen).
Namun masih menyisakan persoalan yang perlu intervensi pemerintah. Sebab dari peran besar swadaya-komunitas itu, profil perumahan dan permukiman mandiri yang layak huni (62,97 persen) dan sisanya tidak layak huni (37,03 persen).
Jangan keliru membaca seakan keluhan, namun itu satire cerdas yang menyindir angka backlog yang tak kunjung kelar. Seperti metafora mengisi bak air yang tak penuh-penuh. Karena ada pertambahan 700-800 ribu rumah tangga baru yang melebihi produksi rumah baru untuk MBR.
Pun sebelum diluncurkan pada 29 April 2015, PSR sudah lekat dengan duo soal ini: sempitnya ruang fiskal dan kurangnya kuota FLPP pun turut serta Dana TAPERA. Beranjak dari persoalan itu, perlu daya ungkit dan kebijakan terobosan yang kini menemukan momentum dan justifikasinya, yakni: program3 juta rumah pro rakyat Presiden Prabowo. Yang hendak keluar dari soal mendasar yang mengabaikan kontribusi “raksasa tidur” pembangun perumahan, yaitu: rakyat! Karena bagian terbesar penyediaan perumahan adalah perumahan swadaya, yang tak lain adalah pengembang terbesar (the biggest developer).
Rakyat-cum-komunitas telah banjir keringat membangun perumahan swadaya yang tak lain perumahan rakyat sebagai really the biggest developer. Patut angkat topi salut kepada rakyat subsider komunitas yang telaten dan tabah mengerjakan perumahan swadaya. Walau motifnya untuk membantu diri (self help) memenuhi kebutuhan dasar hunian versi Abraham Maslow, namun hunian hal ikhwal urusan publik; res publica –yang tak lain saripati mandat konstitusi perumahan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Tak banyak negara memasukkan bertempat tinggal a.k.a hunian ke dalam konstitusi.
Tepat, derap kebijakan putar haluan menghidup-hidupkan perumahan swadaya-komunitas. Dengan fasilitasi pendampingan program dan pemberdayaan kapasitas, memerankan lembaga pendamping dan pendukung teknis serta intervensi skema pembiayaan.
Patut mendorong perumahan dan kawasan permukiman menjadi program strategis (nasional) yang pro rakyat agar merdeka dari kemiskinan perumahan.
Hasim Djojohadikusumo membuka kisi-kisi beleid program perumahan rakyat menyebutkan pembangunan 2 juta rumah di pedesaan akan dipercayakan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), koperasi, dan Badan Usaha Milik Desa.
Kiranya, geser haluan dari perumahan formal itu langkah yang berani bergeser ke perumahan swadaya-cum-komunitas dengan pelaku andalan-dominan pengembang komunitas.
Keputusan politik menjadikan perumahan rakyat sebagai program andalan maka patut membacanya sebagai pemihakan presiden selaku pemimpin tertinggi eksekutif (top executive) hendak loyal dan presisi mematuhi janji namun lebih dari itu sejatinya P15RP prorakyat. Lebih dari itu ikhtiar P15RP menjadi ikhtiar menghidup-hidupkan konstitusi perumahan yang hendak membuat rakyat tersenyum.
Tepat jika visi politik perumahan diinterpretasikan ke dalam kebijakan Presiden Prabowo selaku top executive, plus dukungan Pemda kudu lebih dan lebih berkeringat lagi dalam mengusahakan perumahan rakyat.
Opini ini urun rembug menyokong P15RP menjadi Program Strategis Nasional yang tidak dalam tanda kurung “(nasional)“ lagi, dengan sedikit perubahan UU Nomor 23 Tahun 2014 (UU Pemda).
Sukses dan terbukti dalam eksekusi P15RP, kiranya komunike sinistis “pilar goyah negara kesejahteraan” (wobly pillar of welfare state) tidak relevan lagi dilabelkan pada negeri ini.
Patut dan valid menguatkan wewenang urusan konkuren perumahan rakyat dan kawasan permukiman kepada pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Dengan langkah mengamandemen Lampiran UU Pemda konsisten mengikuti Pasal 12 ayat (1) huruf d UU Pemda. Agar urusan perumahan MBR juncto perumahan swadaya menjadi urusan konkuren pelayanan dasar melekat pada pemerintah dan Pemda, tanpa halangan Lampiran UU Pemda.
Dengan mengoptimalkan Pemda, kiranya, P15RP prorakyat bisa menjadi haluan perumahan rakyat: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat —dalam skala kawasan permukinan. Dengan pulihnya wewenang Pemda dalam P15RP, haluan itu bukan hanya menjawab masalah kekurangan perumahan dan kekumuhan kawasan di daerah, namun menguatkan pilar negara kesejahteraan.
Selaku pemegang mandatori perumahan rakyat baik pemerintah dan Pemda bukan hanya menjalankan aturan eksisting namun menerobos kebuntuan regulasi, putar haluan melereng dari barikade halangan birokrasional, bahkan melantak gangguan pada Good Governance. Badan Bank Tanah kudu berinovasi memutar haluan pro perumahan rakyat cq. P15RP. The HUD Institute mempunyai resep kolaborasi Badan Bank Tanah dengan Pemda.
Epilog esai ini bahwa P15RP itu modalitas signifikan mengatasi kemiskinan perumahan dengan partisipasi komunitas sebagai the bigggest developer yang menjadi energi hebat menyambungkan perumahan rakyat sebagai pilar kuat negara kesejahteraan, ya.. sebagai mata rantai penyambung destinasi Indonesia Emas 2045.
Karena itu, intervensi pendampingan atau empowering, fasilitasi, bantuan dan kemudahan yang sebenar-benar bantuan dan kemudahan yang sebenar-benar dimudahkan menjadi bagian yang bisa diisi pemerintah, Pemda, maupun pelaku usaha perumahan formal. Ini saatnya membangun perumahan dan kawasan permukiman yang prorakyat. Dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat yang difasilitasi dengan pemberdayaan ekonomi rakyat. Membuat rakyat tersenyum dengan perumahan layak, terjangkau, dan untuk semua.
Izinkan saya mengajukan postulat, bahwa jurus pertama untuk menyukseskan P15RP adalah: mengerakkan kontribusi perumahan swadaya-cum-komunitas!
Beleid ini kudu diintegrasikan dengan program pemberdayaan ekonomi keluarga dan bantuan “modal kerja” yang koheren, terkoneksi, dan terintegrasi dengan lembaga pembiayaan bank dan non bank menjadi semacam ‘housingnomics’.
Beleid yang mengawinkan akses perumahan dengan akses dana pemberdayaan. Dari access to housing plus access to welfare. Dari rumah, rakyat gemah ripah a.k.a tersenyum.
Setarikan nafas, eksekusi P15RP yang bekerja konkrit dengan tata kelola yang baik, Insya Allah efektif mengentaskan kemiskinan perumahan yang kumuh juncto rumah tidak layak huni yang tak lain ialah kemiskinan rakyat itu sendiri.
Postulat saya, P15RP menjadi momentum dan justifikasi menerobos benang kusut kemiskinan struktural perumahan rakyat agar keluar dari diagnosa backlog pun satire mengisi bak air yang tak penuh-penuh. Alhasil, P15RP prorakyat adalah “infrastruktur” yang mengakrab-akrabkan pemimpin nasional tertinggi dengan rakyat, yang bekerja untuk rakyat! Tabik.
Muhammad Joni
Advokat, Wakil Ketua Bidang Perlindungan Konsumen The Housing Urban Development (HUD) Institute, Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara