Pembiayaan bank (KPR) untuk membeli rumah impian masih menjadi skema yang paling banyak digunakan di Indonesia. Bank sebagai institusi bisnis dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi akan memeriksa detail calon debiturnya sebelum memberikan pembiayaan.
Ada banyak syarat yang harus dipenuhi yang prinsipnya untuk memastikan calon debitur memiliki kemampuan membayar cicilan sesuai tenornya. Namun ada kalanya di tengah perjalanan terjadi masalah yang membuat debitur kesulitan memenuhi kewajibannya mencicil.
Untuk situasi ini tentu ada opsi penyelesaiannya, sebagai debitur kita bisa mengajukan restrukturisasi untuk kendala cicilan itu. Saat pandemi Covid-19 misalnya, mayoritas debitur KPR mendapatkan keringanan dengan ditunda cicilannya maupun rate suku bunga yang diturunkan sehingga cicilannya menjadi lebih ringan.
Satu hal yang pasti, setiap restrukturisasi yang diajukan debitur akan membuat tenor maupun suku bunga pinjamannya bertambah. Terkait restrukturisasi cicilan KPR ini ada kasus menarik dari salah satu debitur KPR Bank BTN Cabang Depok yaitu Yudha.
Untuk membeli rumah bertipe 38/72 di Depok, Yudha mendapatkan persetujuan kredit sebesar Rp167 juta untuk membeli rumah pilihannya pada tahun 2010. Jumlah cicilan yang ditetapkan saat itu sebesar Rp2 juta per bulan dengan tenor selama 15 tahun, artinya hingga tahun 2025.
Karena masalah pekerjaan, pada tahun 2014 ia mengajukan restrukturisasi ke Bank BTN dari cicilan Rp2 juta itu dibuat menjadi Rp1,5 juta dan disetujui cicilan sebesar itu selama satu tahun.
“Masalah bermula di sini, dari sistem Bank BTN cicilan yang menjadi Rp1,5 juta itu tidak terpotong. Selang tujuh bulan ada surat yang menyatakan rumah saya akan disita, saya urus ke Kantor Cabang BTN Depok, singkatnya mereka juga bingung kenapa tidak terpotong, intinya ada permasalahan di sistem itu,” jelasnya.
Saat mengurus permasalahn ini, Yudha minta cicilannya dikembalikan seperti semula atau sebesar Rp2 juta karena penghasilannya telah membaik dan sejak itu pembayaran dilakukan lancar. Saat pandemi Covid-19, secara otomatis KPR Yudha mendapatkan fasilitas restrukturisasi yang cicilannya kembali tidak dipotong beberapa bulan.
Ketika ditanyakan ke CS bank disebut program ini otomatis kendati debitur tidak memintanya. Konsekuensinya kembali bunga yang dikenakan bertambah ke cicilan setiap bulan. Tahun 2022 lalu Yudha berniat untuk melunasi cicilannya dan kembali menanyakan sisa pokok KPR-nya ke CS yang ternyata jumlahnya tidak jauh berbeda dengan plafon kreditnya yang sebesar Rp160 jutaan itu.
Akhirnya kembali diurus ke Kantor Cabang BTN Depok yang sekali lagi menyatakan masalah sistem. Beberapa kali bolak-balik, permasalahan cicilan dengan bunga yang terus naik dan tenor KPR yang ditarik 10 tahun (dari 2025 menjadi 2035) tidak bisa diselesaikan di kantor cabang dan harus ke kantor pusat.
“Saya paham namanya kita minta restrukturisasi tentu ada konsekuensi bunga dinaikkan ataupun tenor bertambah, tapi ini ada kesalahan sistem dari bank dan sekarang jadi berlarut-larut seperti tidak bisa diselesaikan. Di sisi lain cicilan terus berjalan dan itu kalau kita telat bayar beberapa hari saja dendanya langsung seratus ribuan. Buat debitur lainnya yang pernah restrak coba cek KPR-nya dan dicermati betul jangan sampai kemudahan yang kita minta malah jadi menyusahkan dengan terus mencicil bunga sangat panjang,” tandasnya.
Ini artinya selama 15 tahun Yudha mencicil KPR hampir seluruhnya masuk ke dalam porsi bunga sementara pokok cicilannya berkurang sangat kecil dengan tenor yang bertambah menjadi 10 tahun. Maka cermati dan perhatikan saat mengajukan restrukturisasi.