Banjir yang kerap melanda wilayah Jakarta dan kota-kota penyangga hingga di beberapa kota lain di Indonesia masih terus terjadi khususnya saat curah hujan tinggi seperti saat ini. Banjir di Jakarta hingga area Bodetabek tentunya mendapatkan pemberitaan paling sering karena kawasan ini merupakan pusat hunian, pemerintahan, bisnis, dan lainnya.
Menurut Pangamat Tata Kota dari Universitas Trisakti Jakarta Nirwono Yoga, sejak 25 tahun terakhir tipikal banjir di Jakarta tidak berubah yaitu karena hujan lebat di wilayah hulu yang airnya mengalir ke-13 sungai utama di Jakarta sehingga menyebabkan sungai yang menyempit menjadi over capacity dan meluaplah air ke mana-mana.
“Faktor kedua karena hujan lebat di Jakarta dengan curah yang sangat tinggi ditambah buruknya drainase kota sehingga terjadi banjir lokal. Ketiga, banjir yang diakibatkan karena air pasang sehingga terjadi rob di wilayah pesisir utara, dan keempat banjir karena ketiga faktor itu terjadi bersamaan seperti banjir besar di Jakarta tahun 1996, 2002, 2007, 2013, dan 2019-2020,” jelasnya.
Akhirnya bencana banjir ini juga diperparah dengan tidak kompaknya pemerintah pusat dan daerah maupun ego sektoral tiap daerah dan kantor kedinasan. Secara aturannya, kali maupun aliran sungai yang melintasi tiga wilayah secara otomatis menjadi tanggung jawab pemerintah pusat namun hingga saat ini pemerintah pusat dan daerah belum menyepakati masterplan pengendalian banjir yang bisa dijadikan acuan bersama.
Masterplan ini juga harus memasukan penataan air secara keseluruhan mulai pengelolaan air hujan, air bersih, air limbah, dan sebagainya. Perhatikan juga tipikal curah hujan yang turun di wilayah hulu dan mengalir ke hilir sebagaimana sifat air sebenarnya sejak dulu juga tidak berubah.
Yang membedakan, dulu masih banyak penghijauan selain jalur air masih cukup lebar. Seiring perkembangan penghijauan berganti dengan pemukiman, terjadi penyempitan maupun sedimen aliran sungai yang membuat air langsung menggelontor dan hulu ke pantai dan menerjang apapun yang dilaluinya.
Nirwono memaparkan beberapa solusi terkait pengendalian banjir. Keberadaan situ, danau, embung, waduk (SDEW) di wilayah Jabodetabek harus terpelihara dengan baik sehingga fungsinya bisa maksimal untuk mengalirkan air, menampung, maupun sebagai tempat parkir air saat curah hujan tinggi.
Kedua, pembenahan bantaran sungai dengan naturalisasi, normalisasi, maupun kombinasi keduanya dengan target yang jelas di setiap titik. Ketiga, rehabilitasi saluran air karena berdasarkan data di lapangan, saluran air di Jakarta hanya 33 persen yang berfungsi baik makanya tidak heran kalau hujan lokal sebentar saja langsung membuat kawasannya tergenang.
Keempat, perbaikan tata ruang termasuk menata pemukiman di bantaran kali maupun daerah-daerah cekungan. Kepala daerah baik gubernur, walikota, maupun bupati harus menjadi pihak terdepan yang menghadapi warga dengan cara-cara terbaik dan persuasif. Mustahil dilakukan revitalisasi di pemukiman-pemukiman bantaran kali tanpa menggusur atau menggeser warga. Karena itu harus disampaikan tahapan revitalisasi, pilihan lokasi baru, fasilitas, dan ganti untung lain yang memadai sehingg warga dengan sukarela ikut program pemerintah.
Kelima, keterlibatan masyarakat harus terus ditingkatkan dan pastikan setiap pihak mulai rumah, sekolah, kantor, rumah sakit, dan lainnya untuk memaksimalkann air hujan bisa diserap di kawasannya. Bila ini dilakukan secara bersamaan dengan partisipasi aktif semua pihak, menjaga kebersihan, disiplin, maka banjir di Jakarta akan berkurang sangat signifikan.
“Selain itu juga harus ada pembagian tugas yang jelas antar wilayah. Misalnya wilayah yang lebih tinggi di Kabupaten Bogor, harus dipastikan melakukan konservasi hutannya. Wilayah yang lebih turun di Depok dan Jakarta lakukan revitalisasi kota mulai pembenahan bantaran kali dan SDEW hingga ke wilayah pesisir di Tangerang dan Bekasi dengan melakukan restorasi pantai utara. Harus diwujudkan juga langkah-langkah yang kreatif untuk menambah ruang terbuka hijau di Jakarta dari saat ini 9,98 persen menjadi 30 persen,” pungkas Nirwono.