Kita bisa melihat gambaran kehidupan masyarakat pesisir dalam pameran fotografi Living at the Urban Seafront hingga 1 Juni 2025 di Goethe-Institut Jakarta. Pemeran ini diselenggarakan oleh Gothe-Institut Indonesia bekerja sama dengan Bremen Centre for Building Culture.
Pameran ini menampilkan 47 karya dari 17 fotografer Indonesia dan Jerman untuk menyusuri pengalaman dan kondisi masyarakat yang tinggal di tepian kota dan laut yang berada di Jakarta, Bekasi, Gresik, Makassar, hingga Bremen (Jerman).
Pameran ini menampilkan karya-karya dari Aan Melliana, Abyan Madani, Agus Susanto,
Arie Basuki, Dikye Ariani, Djuli Pamungkas, Fernando Randy, Idealita Ismanto, Iqro Rinaldi,
Muhammad Fauzan, Nafiah Solikhah, Qeis Sulthon, Rejeky Kene, Wiagung Prayudha, dan Yuan Adriles yang didialogkan dengan karya Nikolai Wolff dan Kay Michalak dari Bremen.
Ada 15 karya fotografer Indonesia yang dipilih melalui panggilan terbuka kemudian diseleksi oleh enam juri interdisipliner dari Indonesia dan Jerman yaitu Irene Barlian (fotografer/Jakarta), Ulrike Heine (ilmuwan budaya/Kiel), Sigit D. Pratama (desainer pameran/Jakarta), Jan-Philipp Possmann (kurator/Mannheim), Elisa
Sutanudjaja (urbanis/Jakarta), dan Nikolai Wolff (fotografer/Bremen).
“Perubahan iklim adalah fenomena global yang harus kita hadapi dengan strategi mitigasi dan salah satu strategi dalam kaitan dengan kenaikan permukaan air laut adalah ketahanan kawasan pesisir. Dialog di antara kota-kota pesisir yang begitu berbeda seperti Bremen dan Jakarta mengungkapkan keberagaman tanggapan,” ujar Kepala Program Budaya Goethe-Institut Indonesia Ingo Schoningh.
Sebagai lembaga kebudayaan, Goethe-Institut mengusung misi untuk meningkatkan kesadaran melalui pemecahan masalah bersama untuk lebih menerapkan pemahaman, keterhubungan, dan harapan yang bisa terus tumbuh. Pameran ini menjadi aktual karena lebih dari 60 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir seiring Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia.
Kehidupan pesisir pada akhirnya juga memunculkan banyak tantangan seperti kenaikan muka air laut, penurunan tanah, abrasi, dan banjir yang tidak datang sebagai bencana tiba-tiba tapi berlangsung perlahan melalui keseharian, perubahan senyap, dan kelalaian struktural.
“Foto-foto dalam pameran ini juga sekilas menelusuri bagaimana orang terus beradaptasi,
bertahan, dan memberi makna pada batas yang terus berubah antara daratan dan laut.
Beberapa foto menampilkan upaya mempertahankan daratan dari air melalui tanggul,
tembok, dan pompa sementara lainnya menunjukkan apa yang terjadi ketika infrastruktur gagal atau jika tak pernah hadir,” imbuh Elisa Sutanudjaja, salah satu perwakilan juri.
Pameran ini juga memperlihatkan berbagai bentuk ketahanan seperti membangun ulang rumah, mengangkut air bersih melewati banjir, menunggu dalam ketidakpastian, atau sekadar bermain di tanah yang mungkin akan segera hiilang.
Pameran ini tidak hanya terkait konsekuensi dari krisis iklim yang mengerikan tapi juga
merupakan sebuah ajakan refleksi, jauh dari banjir rob dan garis pantai yang semakin
terkikis, juga tentang kegigihan, kenangan, dan kehidupan sehari-hari di atas tanah yang
lenyap.