Ibukota negara masih Jakarta dengan presiden yang berkantor di Istana Negara. Ibukota Negara Jakarta itu bertabalkan Kota Megapolitan yang konon makin berdandan menjadikan diri berstandar dunia: Jakarta Kota Global, yang makin tinggi pencakar langitnya, makin cepat melaju keretanya. Desis anginnya saja tak bisa dikejar, siapa yang ridho dibuat ketinggalan mengikuti derap imaji Kota Global dan Berbudaya. Kota dibangun tanpa satu pun tertinggalkan, itu prinsip universal versi SDG’s.
Akankah kota makin berbudaya tatkala hanya memberi intervensi bedah rumah pada sepotong kawasan di sana sini kepada warga Jakarta? Adakah kabar-kabar kolaborasi dengan otoritas Pemprov DKI Jakarta yang masih memegang catatan tagihan hunian berimbang dan daftar kewajiban pengembang pasca pembebasan lahan?
Tapi semakin cepat Jakarta melaju, semakin sempit pula ruang hidup rakyat kecil yang dulu membangun kota ini dengan keringat dan doa bahkan orasi dan petisi, tentunya juga fiskal negara.
Usah heran, potret warga kota dengan rumah-rumah mereka yang padat, tak layak dan tersuruk di kawasan kumuh kota becek, jamak komunitas itu berpindah karena pernah digusur dan direlokasi berkali-kali hingga direkayasa kebijakan dan investasi mahal. Mereka tinggal di “kampung terjepit” atau tersisih menjauh keluar lokus bekerja dan etos rentak budaya asalnya.
Kini, malah di era Presiden Prabowo Subianto yang menginginkan rakyat tersenyum, nguyu, jangan sampai tersingkir dari “pulau” kehidupan a.k.a. ruang spasialnya. Eeh, kenapa malah mereka ditawari opsi “rumah” 18 meter persegi yang katanya itu konon masih “opsi”. Tak ada opsi normatif rumah mini yang ada hanya rumah MBR yang melekat duo syarat: layak dan terjangkau.
The HUD Institute Menambahnya Opsi Rumah Sehat dan Produktif
Tersebar kabar media, Puan Sri Haryati, Dirjen Perumahan Perkotaan Kementerian PKP, menjelaskan rumah subsidi mini itu bukan paksaan tapi opsi pilihan untuk generasi muda model Gen Z, pekerja urban, dengan cicilan murah.
Tapi pertanyaan tajam muncul dari balik akal sehat eksponen pegiat dan pengabdi perumahan rakyat. Kalau negara punya lahan luas milik sendiri, kenapa malah memilih opsi mengecilkan ruang hidup rakyat?
Bukankah ukuran kelayakan dan hidup mengglobal berbudaya adalah peningkatan ruang spasial. Bukan malah kemerosotan keadilan spasial. Bukan pula inflasi derajat martabat.
Patut direnungkan, beleid rumah 18 m2 itu pilihan atau pemiskinan atas nama angka target pencapaian?
Wamen PKP Fahri Hamzah mengungkap rencana pengadaan rumah subsidi minimalis dengan luas bangunan 18 m2 itu belum disetujui oleh Ketua Satgas Perumahan Hashim Djojohadikusumo.
Lantas siapa mendapat apa dan hendak siaga menguasai cuan?
“Rumah bukan hanya tembok. Ia ruang hidup, ruang didik, ruang budaya. Rumah 18 meter persegi bukan solusi, tapi ruang sempit bagi mimpi besar rakyat,” ujar Ketua Umum The HUD Institute Zulfi Syarif Koto.
Saat pemerintah menyebut rumah sempit itu sebagai “opsi”, kita perlu bertanya, opsi untuk siapa? Apakah rakyat di Medan, Semarang, Surabaya atau Makassar juga harus ditawari opsi itu? Ditawari opsi itu dengan kenyataan harga tanahnya yang masih masuk akal?
Pembangunan perumahan bukan hanya tentang bangunan melainkan keputusan moral dan hati Nurani, apakah negara benar-benar berpihak pada rakyat atau hanya menyesuaikan anggaran.
Di Mana Peran Bank Tanah?
Bank Tanah yang seharusnya hadir menyelamatkan kebutuhan lahan untuk rumah rakyat malah seakan mati langkah. Hingga saat ini tidak satu pun proyek rumah susun rakyat yang diumumkan hasil sinergi Bank Tanah, pemda, dan kementerian. Padahal wewenang Badan Bank Tanah diperkuat agar tak loyo untuk fastabiqul khairat pada perumahan rakyat.
Bank Tanah itu seperti gudang logistik yang terkunci. Potensinya besar tapi tidak menyentuh dapur rakyat. Sementara itu ada banyak lahan nyaris kosong dan nyaris terlantar sehingga tak efektif dan produktif yang sebenarnya bisa ditangani, ditata ulang dengan ilmu teknis urban development.
Jangan biarkan aset milik negara lama terbengkalai dalam arti abai dan tidak berguna bagi kontribusi program 3 juta rumah, program andalan Presiden Prabowo. The HUD Institute memiliki data relatif lengkap, malahan sebagian sudah disurvei lapangan dan studi kelayakan.
Sebut saja eks rumah dinas DPR di Kalibata, HPL Setneg di Senayan dan Kemayoran, tanah-tanah BUMN/BUMD dari Rawamangun sampai Cawang, lahan BUMN Perumnas maupun BUMN-BUMN Karya, juga lokasi cantik seluas 17 hektar tanah dalam wewenang Kementerian PU di kawasan segi tiga “berlian” Lebak Bulus yang bisa berkembang menjadi 30 hektar dengan konsolidasi vertikal yang terkoneksi pengembangan konsep TOD Lebak Bulus.
Saat diskusi dengan The HUD Institute, sangat baik untuk mendorong langkah cepat dan tegap agar dikelola lewat Asset Management for Public Housing yang memang disiapkan untuk membangun rusun MBR dan mix-used housing vertikal yang adil, layak, dan terkoneksi TOD.
Tangerang, Jakarta, dan Arah Masa Depan
Di Tangerang, tekanan harga tanah dan urbanisasi juga meningkat. Perda-perda harus mengarah pada rumah vertikal. Tetapi mengapa oh mengapa, pemerintah pusat malah melempar bola rumah tapak 18 m2. Pemprov Jakarta bahkan sudah menutup pintu untuk rumah tapak rakyat dalam beleid tata ruang a.k.a RDTR. Arah masa depan adalah vertikal yang manusiawi bukan rumah tapak yang menyempitkan dan menggerogoti budaya manusia.
“Kalau bisa rusun TOD di atas lahan negara, kenapa rakyat dipaksa beli rumah tapak sempit jauh dari pusat kota?” imbuh Zulfi Syarif Koto.
Rumah sebagai Penjaga Budaya
Dalam semangat HUT Jakarta ke-498 sebagai Kota Global Berbudaya, kita patut mengingat bahwa rumah adalah ruang budaya pertama bangsa. Dari rumah yang genah dan layak itulah lahir anak-anak membacakan asa, pelantun doa, perawat nilai, dan penjaga egaliter bangsa.
Rakyat Jakarta yang dulu memelihara budaya Betawi, memeluk keberagaman, membesarkan anak-anak dengan budi bahasa dan sambal tumis pete, jangan dikhianati dengan rumah 18 meter tanpa leluasa sirkulasi hajat manusiawi.
Epilog: Bangun Keadilan, Bukan Hanya Bangunan
Kita tentu tidak menolak rumah kecil, tapi kita menolak penyempitan ruang martabat.
“Kalau bisa asset management, mengapa memilih opsi rumah mini?”
Itu pertanyaan untuk para pengambil kebijakan yang hendak menuliskan sejarah keadilan ruang spasial dan sosial. Ruang fiskal mengikuti. Jakarta tak kekurangan langit. Tapi jangan sampai ia kekurangan hati untuk rakyatnya sendiri.
Karena Kota Global yang berbudaya, bukan yang paling tinggi bangunannya tetapi yang paling tinggi ikhwal memanusiawikan rumah-rumah warganya.
Selamat Ulang Tahun Kota Jakarta ke 498. Sing tangguh dan tabah menapaki imaji menjadi Kota Global dan Berbudaya. Tabik.