Kabar anyar program 3 juta rumah datang dari Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah. Menurut politisi Partai Gelora itu, pemerintah segera menggunakan 24 hektar lahan kompleks rumah dinas (rumdis) DPR di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, untuk menjadi lokasi program 3 juta rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Bagaimana arah konsep pembangunan kawasan yang terdiri blok 20 hektar plus 4 hektar yang dipisahkan rel kereta itu? Siapa patut menikmati kawasan bernilai ekonomi tinggi eks rumdis anggota parlemen Kalibata itu? Apa saja terobosan yang menyasar MBR dan warga miskin kota? Akankah melibatkan pelaku usaha domestik yang bagian ekosistem pembangunan perumahan MBR?
Mengulik soal itu, berikut 9 (sembilan) catatan yang bisa diberikan oleh kami, Muhammad Joni selaku praktisi hukum perumahan dan Ketua Umum Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas Pera).
Pertama
Proyek eks rumdis DPR Kalibata itu pasti menarik dan patut diapresiasi. Itu gebrakan program 3 juta rumah yang juga Program Strategis Nasional (PSN). Artinya, PSN bukan hanya proyek seperti halnya Program Sejuta Rumah (PSR), namun transformasi. Itu terobosan mengubah lahan kompleks rumdis DPR menjadi hunian MBR itu gaungnya menggelegar. Tersebab itu harus dipastikan untuk siapa hunian eks rumdis DPR itu disiapkan. Pro MBR atau properti komersial?
Memang selalu saja dipakai dalil mengatasi kekurangan rumah (backlog). Apakah eks lahan bagus eks rumdis DPR yang strategis dekat stasiun kereta dan berhampiran kawasan tepi kali itu hendak dirancang? Bisakah mengatasi kawasan permukiman kumuh dan rumah tidak layak huni di Jakarta? Apakah menjadi atensi khusus bagi warga prasejahtera
yang berhampiran sekitar Kalibata seperti pinggiran sungai Ciliwung?
Intervensi kebijakan menjawab soal kusut backlog agak lain dengan senabut soal kawasan kumuh kota yang akut dan sudah menjadi komunitas tersendiri dengan sub kultur yang unik. Seperti juga pembangunan rumah susun itu solusi backlog atau mencakup exit strategy menjawab kekumuhan kota? Intervensinya tidak hanya reproduksi hunian dan mengejar statistik jumlah bangunan rumah susun?
Alhasil PSN tiga juta rumah tidak melulu membangun statistik fisik rumah namun membangun ekonomi dan memberdayakan keluarga MBR. Melampaui skenario capaian statistik hunian 3 juta rumah MBR.
Kedua
Transformasi eks lahan rumdis DPR menjadi hunian MBR itu terbosan berani pro MBR. Itu lahan yang menggiurkan. Saya kira dengan kelangkaan lahan di Jakarta menjadi tidak rasional membangun rumah tapak untuk perumahan MBR. Tepat jika dibangun hunian vertikal atau rumah susun sewa karena berdiri di atas tanah perbendaharaan negara.
Bahkan bukan hanya rumah susun sewa namun bersubsidi plus adanya intervensi pemberdayaan ekonomi. Jika tidak, rumah tapak (landed house) di Jakarta bukan hanya tidak rasional karena harganya tidak terjangkau MBR bahkan tidak menjawab masalah ekonomi keluarga MBR yang hendak disasar.
Kiranya bermula dari transformasi lahan eks rumdis DPR Kalibata menjadi hunian vertikal, maka konseptualisasi dan kebijakannya harus bisa menjawab keraguan publik bahwa hunian vertikal rumah susun bisa mengatasi masalah sosial-ekonomi permukiman kumuh yang akut. Itu soal yang lebih kompleks dari sekadar isu normatif-statistik bernama backlog, karena ada isu kemiskinan, pendidikan, kesehatan, kerentanan anak dan perempuan.
Blending isu bangunan rumah untuk manusia dengan bangunan sosial-ekonomi untuk pemberdayaan keluarga sejahtera. Sebab itu beralasan jika Kementerian PKP bukan hanya berada di bawah koordinasi Menko Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah namun Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dan tentu saja pemerintah daerah.
Ketiga
Pengembangan hunian vertikal dari bekas lahan kompleks rumdis Kalibata itu berlokasi strategis, mahal, dan terlebih lagi dekat dengan stasiun kereta. Ya, karena itu beralasan dirancang menjadi model pemanfaatan lahan milik negara menjadi kawasan hunian vertikal untuk MBR dan juga menjawab kekumuhan kota yang setarikan nafas dengan jeratan kemiskinan warga kota.
Juga, beralasan dan cocok terintegrasi dengan konsep Transit Oriented Development (TOD) karena lokasinya dalam radius terjangkau ke stasiun kereta namun tidak meninggalkan kemanfaatan hunian berbasis TOD bagi semua atau TOD yang berkeadilan untuk semua. Pastikan hunian berbasis TOD yang terintegrasi bisa mengurangi beban biaya penghuni atau konsumen dan beban kepadatan transportasi kota.
Kawasan TOD yang dirancang kudu mematok beleid yang mengendalikan “tata niaga” kawasan hunian dengan TOD Kalibata sehingga bisa mengendalikan indeks kemahalan tarif barang, properti, pun tarif di kawasan TOD yang bakal berkilau namun tetap terjangkau MBR yang justru masih perlu intervensi kebijakan.
Agar tidak menjadi kausal penyingkiran kembali bagi warga penghuni hunian vertikal dengan tarif iuran dan biaya yang membebani namun tanpa intervensi pemberdayaan ekonomi. Maksud asli menyediakan kawasan dan hunian layak bagi warga miskin kota via PSN 3 juta rumah, jangan menjadi jebakan penyingkiran baru dengan indeks kemahalan yang tak terjangkau.
Keempat
Agar dipastikan sasaran penerima manfaat dan penggunaan serta penghuni hunian vertikal tersebut menarget kelompok MBR dan kurang mampu khsususnya dari kawasan sekitar lahan rumdis DPR Kalibata, pinggiran kali, dan kawasan kumuh kota yang tersisihkan. Agar bisa bangkit dari hunian layak, sehat, terjangkau, dan produktif, menjadi terobosan keadilan ruang dan hak dasar atas hunian yang dimaksudkan menjawab kompleksitas masalah sosial kawasan perkotaan yang berhimpitan dengan isu kemiskinan warga kota.
Kelima
Selain masalah eksternalitas pembangunan kawasan rumah susun untuk MBR dan mengatasi kekumuhan kota itu, tak kalah penting menata ulang soal pengelolaan rumah susun yang perlu dirumuskan dan dipastikan agar tidak menimbulkan masalah klasik konflik internal penghuni dengan pengelola dan developer.
Sebab itu segerakan infrastruktur non fisik berupa infrastruktur regulasi pengelolaan dan pemanfataan bahkan housing codes penghunian rusun. PP tentang pengelolaan dan penghunian rumah susun agar disegerakan, termasuk mengenai evaluasi pengaturan PPPSRS. Status Jakarta sebagai Kota Global, mendesak regulasi hunian vertikal yang lengkap, housing codes, termasuk pengawasan penggunaan, pengelolaan dan penghunian rumah susun.
Keenam
Memastikan pengguna dan penghuni yang senyatanya adalah MBR yang tepat sasaran dengan cara evaluasi ketat secara periodik atas status penghuni dan penggunaan. Bisa jadi penghuni semula masik kriteria MBR tapi kemudian menjadi bukan MBR lagi. Soal ini perlu diatur jelas dalam tatanan regulasi yang ketat dan pengawasan yang kredibel.
Karena proyek ini dibangun di Kota Global Jakarta, maka perda mengenai Rumah Susun, PPPSRS, pengelolaan dan penghunian perlu disegerakan agar konflik horizontal dan kekosongan aturan bisa diatasi. Prospek dan kepercayaan atas properti hunian vertikal bisa tercipta dengan regulasi yang pasti, lengkap, patut, dan adil.
Ketujuh
Walau berada di atas lahan tanah pemerintah, namun beralasan menurut hukum melibatkan peran pelaku usaha atau pengembang MBR domestik yang telah terdaftar ke dalam ekosistem dan teruji kinerjanya dalam program PSR. Hemat saya, pengembang MBR domestik tidak bisa diabaikan karena menjadi ekosistem pembangunan perumahan dan kawasan permukiman namun tata kelola dan kolaborasi harus ditingkatkan.
Suksesnya PSN tiga juta rumah bukan hanya capaian statistik produksi rumah MBR saja namun PSN yang berhasil menggerakkan mesin pembangunan dalam eksositem yang ajeg, termasuk pengembang MBR yang terbukti efektif menyerap tenaga kerja dan menggerakkan puluhan jenis rantai usaha yang menyertainya.
Kedelapan
Sekali lagi, program 3 juta rumah yang diintegrasikan dengan akses kepada pemberdayaan ekonomi kepada MBR. Selain akses hunian juga akses pemberdayaan ekonomi keluarga agar tekad Presiden Prabowo Subianto mengentaskan kemiskinan melalui pembangunan perumahan yang sehat, layak, dan terjangkau namun kawasan hunian yang bertumbuh yaitu menjadi kawasan produktif.
Kesembilan
Dengan tidak menafikan kecepatan dan ketepatan, namun tidak berlebihan jika membuka partisipasi bermakna menciptakan kawasan hunian sehat, layak, terjangkau, dan produktif dengan melombakan disain pengembangan kawasan hunian vertikal bebasis TOD yang tidak menyisihkan pihak manapun. Suksesnya kebijakan terobosan transformasi lahan rumdis DPR Kalibata itu menjadi taruhan tekad Presiden Prabowo yang menginginkan rakyat MBR bisa tersenyum menikmati hunian yang sehat, layak, terjangkau, dan berkeadilan.
Muhammad Joni
Advokat, Ketua Umum Konsorsium Nasional Perumahan Rakyat (Kornas Pera), Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Alumni Univesitas Sumatera Utara (IKA USU).