Pemerintah telah menggelontorkan Rp200 triliun yang ditempatkan ke bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Secara hukum tentunya sah karena UU Perbendaharaan Negara memberinya kekuasaan. Tapi sah saja tak cukup.
Pertanyaan konstitusionalnya tetap: apakah uang rakyat itu akan kembali ke rakyat, atau hanya membeku di brankas bank?
Berdasar data Kementerian Keuangan, pembiayaan perumahan rakyat lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini mencapai sekitar Rp47,4 triliun. Dengan program 3 juta rumah menjadi kerangka besar negara untuk menyelesaikan backlog perumahan rakyat yang tercatat sebesar 12,7 juta unit.
Program KPR subsidi FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) menjadi instrumen utama. Tahun 2024, kuota KPR FLPP ditetapkan 166 ribu unit saja, padahal target ideal menurut pengembang dan data kebutuhan jauh lebih besar dengan ada permintaan yang melampaui 200 ribu unit per tahun. Syukur sekarang sudah dinaikkan ke-350 ribu.
***
Negara sudah menaruh Rp47,4 triliun lewat APBN untuk perumahan rakyat dan itu angka yang besar. Tetapi bila dibanding kebutuhan nyata adanya 12,7 juta unit backlog dan target 3 juta rumah, angka itu masih sangat terbatas.
Jika satu rumah memerlukan biaya rata-rata misalkan Rp200 juta, maka untuk 3 juta rumah dibutuhkan Rp600 triliun. Artinya, alokasi selama ini baru sebagian kecil dari kebutuhan riil. KPR FLPP meskipun sangat membantu, kuotanya tidak sebanding dengan permintaan. Banyak pengembang meminta agar kuota ditambah menjadi 220 ribu unit per tahun, dengan alokasi pengembang kini sudah dinaikkan.
Juga subsidi bunga, bantuan uang muka, program seperti bantuan stimulan (BSPS) masih kecil cakupannya dan belum merata.
Di setiap genteng yang belum terpasang, ada doa ibu agar anaknya punya kamar sendiri. Di setiap kusen yang rapuh, ada harap ayah agar rumah tak mudah bocor, tak perlu memperbaiki atap setiap hujan.
12,7 juta unit backlog itu bukan angka mati. Ia adalah malam panjang tanpa tempat tinggal yang layak. Ia adalah suara yang belum bisa tidur karena kontrakan bocor, karena dinding menganga.
Negara memegang UUD 1945 Pasal 28H: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal……
Jika rumah bukan hanya kebutuhan fisik tapi amanah konstitusional, maka dana negara harus mengalir ke pintu rumah rakyat dan bukan mengendap di brankas bank!
Rekomendasi:
1. Alokasi yang jelas dari Rp200 triliun untuk program 3 juta rumah rakyat dengan menghitung keperluan dana, bagi porsi untuk KPR FLPP, subsidi bunga, bantuan uang muka, integrasi usaha bahan bangunan lokal, warung dan tenaga kerja lokal.
2. Kuota KPR FLPP dinaikkan menjadi minimal 220 ribu-300 ribu unit per tahun, disertai anggaran APBN yang memadai agar tiap rumah MBR mendapatkan akses pembiayaan lunak.
3. Subsidi bunga dan uang muka (down-payment) yang lebih besar supaya daya beli rakyat meningkat.
4. Kontrak kinerja legal antara pemerintah dan bank Himbara: target kuantitatif (unit rumah, sektor usaha bahan bangunan, pemasok lokal), tenggat waktu, sanksi jika gagal.
5. Transparansi penuh: laporan unit per unit, daerah per daerah, suku bunga rata-rata, biaya tambahan, agar publik bisa melihat aliran dana sampai tingkat rumah dan warung.
Jika Rp200 triliun hanya menggemukkan bank, itu pengkhianatan terhadap negara kesejahteraan. Tetapi bila dialirkan ke rakyat maka akan tercatat sebagai terobosan konstitusional yang membumi: dari brankas bank, sampai ke pintu rumah rakyat. Tabik!
Oleh
Muhammad Joni
Advokat, Sekjen Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara (IKA USU)


