Tanah mempunyai hubungan sangat fundamental dengan manusia. Dalam bahasa agama, manusia diciptakan Allah dan akan kembali kepada Allah kepada dasarnya yaitu tanah. Karena sesuai dengan asal proses penciptaan manusia adalah berasal dari tanah, maka akhir hidupnya akan kembali pada tanah: dari tanah kembali ke tanah.
Itu juga yang membuat hubungan antara manusia dan atau masyarakat dengan tanah ini bersifat abadi. Tanah juga merupakan sumber ekonomi hingga politik yang mengandung pesan religius hingga magis dengan hak-hak atas tanah yang bersifat abadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan.
Makna dan manfaat tanah bagi manusia tidak terbantahkan. Ia tidak hanya memberi fungsi ekonomis, politis, namun juga kultural, kehormatan, identitas, hingga harga diri. Tanah tidak semata-mata berarti benda dalam arti fisiknya, namun di atasnya lah dibangun ruang sosial, berbagai hubungan dijalin, persaingan terjadi, penguasaan dominan dan politik dikontestasikan. Hak atas tanah menjadi pemicu dan penyebab, pembentuk dan pengendali perubahan ditengah-tengah masyarakat nasional internasional.
Tanah dalam konstitusi kita merupakan sumber agraria yang mengandung dua aspek utama: aspek kepemilikan-penguasaan dan aspek penggunaan-pemanfaatan. Secara hakiki, makna dan posisi strategis tanah dalam kehidupan masyarakat Indonesia tidak saja mengandung aspek fisik tetapi juga aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, pertahanan-keamanan dan aspek hukum.
Secara filosofis, tanah cenderung diartikan sebagai land dan bukan soil, sehingga tanah dipandang dalam visi multidimensional. Dalam pandangan lain, tanah bagi masyarakat memiliki makna multidimensional:
- Dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan.
- Secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan politik & bernegara.
- Sebagai budaya yang dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya.
- Tanah bermakna sakral karena berurusan dengan warisan dan masalah-masalah transedental.
- Sebagai budaya yang dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya.
- Tanah sebagai sarana berproduksi untuk memenuhi kebutuhan
Di Indonesia masalah sumber daya agraria dalam arti luas diatur dalam konstitusi sebagaimana Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal ini secara prinsip memberi landasan hukum bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kewenangan pengaturan tanah seluruhnya diserahkan kepada negara sebagai suatu organisasi kekuasaan dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Lebih lanjut tanah diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA) dan peraturan pelaksananya. Dari penguasaan tersebut diharapkan akan berdampak pada kepastian hukum, perlindungan hukum, keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat.
Dalam perspektif hukum, tanah dikaji berdasarkan hak-hak penguasaan sebagai suatu sistem hukum. Artinya, bagaimana hukum memandang persoalan pertanahan yang berkaitan dengan hak-hak penguasaan atas tanah dalam suatu sistem. Sebagai suatu sistem maka hak atas tanah harus dilihat sebagai suatu nilai (value).
Karena hukum sebagai perwujudan nilai-nilai, maka pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah mengandung arti bahwa kehadirannya adalah untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Maka penguasaan dan pemilikan hak atas tanah harus dilindungi. Pengkajian hak atas tanah dari perspektif ilmu hukum berarti membahas hak atas tanah dari aspek penguasaan dan pemilikannya. Kedudukan tanah dalam tata nilai yang berbeda-beda tersebut apabila ditinjau dari kajian filsafat ilmu hukum maka tanah mengandung nilai yang berbeda-beda, tergantung pada tempat dan waktu di mana tata nilai itu tumbuh dan berkembang.
Dalam sejarahnya, pemilikan hak atas tanah di Indonesia mengalami berbagai perubahan. Ketika jumlah penduduk masih sedikit dan jumlah tanah tak terbatas, maka tanah hanyalah sekadar komoditi yang diolah dan dimanfaatkan untuk kepentingan individu dan tidak diperjualbelikan maupun diperdagangkan. Seiring bertambahnya penduduk, maka tanah mulai diperjualbelikan.
Ada asas penawaran dan permintaan. Kepemilikan tanah berubah dari konsep land as commodity menjadi land a property. Semula, hak atas tanah bersifat mutlak. Tanah memberikan berbagai hak pada pemiliknya.
Ada hak untuk mengolah dan memanfaatkan tanah, ada hak untuk menikmati penggunaan tanah termasuk udara di atasnya, hak untuk memperoleh keuntungan finansial dari tanah, hak untuk menjual, menghibahkan dan mewariskan kepada orang lain, hak untuk membangun.
Hak yang mutlak tersebut mulai dibatasi. Hak milik atas tanah, yang memberikan hak untuk menikmati dan berbuat bebas terhadap tanah, demi kepentingan umum hak itu bahkan mungkin dicabut. Kepentingan umum mulai menuntut perhatian sehingga pemilikan tanah berubah menjadi land social property.
Sumber daya alam memiliki sifat dan potensinya masing-masing, namun karena letak dan keberadaannya dalam suatu space (tanah) sehingga pengelolaannya saling membatasi. Oleh karena itu UU sektoral harus konsisten mengatur asas-asas dan prinsip pengaturan dan pengelolaan secara sinkron, sinergis, serta terkoordinasi dengan baik agar mendorong pemanfaatan sumber daya ini secara optimal.
Di sisi lain regulasi parsial yang dikawal kuatnya ego-sektoral telah menimbulkan berbagai masalah dan tumpang-tindih pada lingkup kewenangan dan situasi ini juga telah berakibat timbulnya konflik dan semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup. Maka semua pihak harus berupaya untuk menghindari berbagai gesekan yang dapat menganggu efektivitas kehidupan yang berkaitan dengan tanah.
Oleh
Chairil Anwar Soleh
Dokter Spesialis Anestesi, tokoh masyarakat Betawi, tulisan adalah pendapat pribadi


