Makin sulit dan mahalnya lahan di perkotaan maupun kawasan-kawasan padat lainnya membuat pengembangan properti mau tak mau dilakukan ke atas (vertikal). Akhirnya banyak dari kalangan masyarakat dipaksa dengan hunian kompak yang luasannya sangat terbatas sehingga penghuni harus menyesuaikan pola kebiasaan maupun lifestyle-nya di dalam hunian kompak itu.
Di sisi lain, hunian kompak memungkinkan harga jualnya menjadi lebih terjangkau sehingga menarik untuk kalangan first time home buyer. Ketimbang harus ulang-alik bila berhunian di pinggiran kota ke tempat kerja, berhunian di unit apartemen kompak tapi lebih dekat ke tempat kerja bisa menjadi solusi untuk kalangan ini.
Di sisi lain, saat para pekerja ini telah berkeluarga dan memiliki anak, hunian tipe studio di komplek apartemen menjadi kurang cocok untuk perkembangan anak-anak. Menurut Psikolog Tika Bisono, akan ada berbagai kendala saat kita membina keluarga di sebuah hunian yang kompak seperti tipe studio sebuah apartemen yang umumnya berukuran 20-25 m2.
“Tinggal di apartemen itu yang ditawarkan efisiensi terkait biaya transportasi yang akan kita keluarkan sehari-hari untuk menuju kantor maupun pusat aktivitas. Tapi lain ceritanya kalau kita sudah punya anak karena menurut saya hunian tipe studio itu tidak layak untuk menjadi hunian sebuah keluarga,” katanya.
Akan ada banyak keterbatasan maupun kendala saat kita membangun sebuah keluarga di sebuah hunian tipe studio. Setiap anggota kelurga, jelas Tika, memiliki kebutuhannya masing-masing dan untuk hal tertentu tipe studio sebuah apartemen tidak bisa memenuhi hal itu baik untuk anak-anak maupun orang tuanya.
Tipe studio umumnya tidak memiliki sekat ruang dan hal ini tidak dibenarkan karena pengembangan sebuah keluarga khususnya bagi orang tua membutuhkan privasi termasuk dari anak-anaknya sendiri. Belum bicara fungsi-fungsi ruang yang lain yang harus dipenuhi untuk pengembangan sebuah keluarga.
Karena keterbatasan tipe studio, dapur yang disediakan umumnya hanya berupa dapur kering yang kurang memadai untuk digunakan aktivitas memasak besar. Dapur tipe studio hanya bisa digunakan untuk mengolah masakan cepat saji maupun sekadar memanaskan makanan. Hal ini akan berpengaruh pada pemenuhan gizi keluarga khususnya perkembangan anak-anak.
Anak-anak juga membutuhkan ruang untuk dia berkembang dan memaksimalkan perkembangan motorik dan fisiknya seperti bermain, berlari, dan lainnya yang pastinya tidak akan bisa dipenuhi di unit studio kendati di luar itu menyediakan fasilitas taman bermain. Intinya, hunian kubikal dengan ukuran terbatas seperti tipe studio tidak cocok untuk perkembangan anak.
Karena itu, orang tua harus mengalah dengan tinggal di rumah tapak yang lokasinya jauh dari tempat kerja. Hal ini akan lebih sehat bagi perkembangan anak dengan tinggal di rumah tapak kendati orang tuanya akan lebih lelah karena menempuh perjalanan yang lebih jauh ke tempat kerjanya. Pembinaan keluarga membutuhkan juga ruang untuk tempat berkumpul dan bercengkerama guna membangun seluruh nilai-nilai keluarga yang tidak bisa dipenuhi di unit studio.
“Orang tua harus memikirkan bagaimana bisa menyediakan rumah yang layak bagi perkembangan anak-anaknya. Kalau waktu single hingga menikah tinggal di unit studio, saat hamil atau punya anak harus berpikir, apa unit studionya dijual untuk uang muka beli rumah di tempat lain atau mencari unit apartemen yang lebih memadai. Anak itu harus bisa berlari, main sepeda, naik pohon, jatuh, dan terluka, saya malah prihatin dengan anak yang tinggal di apartemen kompak dan mainnya hanya dengan gadget dan itu malah yang bahaya,” pungkas Tika.