Pada masa lalu transmigrasi dianggap sebagai memindahkan kawasan pada perkotaan yang umumnya kumuh ke kawasan lain yang belum berkembang. Para transmigran ini diberikan sebidang lahan untuk diolah sehingga bisa menghasilkan sekaligus bisa mengembangkan sebuah kawasan menjadi lebih produktif.
Sebelum membahas lebih jauh ada baiknya menengok sedikit sejarah transmigrasi di Indonesia. Transmigrasi di Indonesia dimulai pertama kali pada 12 Desember 1950 dengan memberangkatkan 25 kepala keluarga (KK) atau sekitar 98 jiwa. Lokasi awal transmigrasi adalah Lampung sebanyak 23 KK dan Lubuk Linggau 2 KK.
Istilah transmigrasi pertama kali dicetuskan oleh presiden pertama Soekarno pada tahun 1927 yang disebutkan di dalam Harian Soeloeh Indonesia. Istilah transmigrasi mengemuka lagi pada Konferensi Ekonomi di Kaliurang, Yogyakarta pada 3 Februari 1946. Adalah Wakil Presiden pertama Bung Hatta yang menyebutkan pentingnya transmigrasi untuk mendukung pembangunan industrialisasi di luar Pulau Jawa.
Saat ini transmigrasi telah menjadi bagian integral dari pembangunan nasional dan daerah. Kebijakan transmigrasi dilakukan sebagai upaya untuk mempercepat pembangunan khususnya di daerah yang masih terisolasi dan tertinggal. Hal ini sejurus dengan program pembanguan yang digalakkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yaitu membangun dari pinggiran dan wilayah perbatasan.
Berdasarkan keterangan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, saat ini transmigrasi dilakukan dengan berbasis kawasan yang diprioritaskan untuk mendukung pembangunan wilayah dan perbatasan negara melalui pembangunan pemukiman baru, pemugaran, dan lainnya. Dalam pengembangannya, dilakukan juga berbagai pola usaha untuk mengembangkan ekonomi lokal sehingga pola yang dilakukan lebih holistik.
Lebih dari itu, sudah ada peraturan pemerintah (PP) No. 3 Tahun 2014 tentang ketransmigrasian dan hingga saat ini sudah terbentuk 23 kawasan transmigrasi yang telah sangat berkembang. Kawasan tersebut antara lain Salor, Kabupaten Merauke; Kobisonta, Maluku Tengah; Air Terang, Buol; Bungku, Morowali; Pawonsari, Boalemo, Subah, Sambas; Gerbang Kayong, Kayong Utara; Telang, Banyuasin, dan sebagainya.
Sebelum terbentuknya kawasan transmigrasi, pemerintah juga telah menetapkan 48 Kota Terpadu Mandiri (KTM) yang merupakan embrio dari kawasan transmigrasi. Selama tahun 2016 ini pemerintah juga telah memberangkatkan sekitar 1.658 kepala KK dan telah memberikan kontribusi positif seperti membuka keterisolasian daerah terpencil, pembangunan jalan penghubung, jembatan, gorong-gorong, dan sebagainya.
Bahkan, program transmigrasi juga telah mendorong terbentuknya dua ibukota provinsi baru yaitu Mamuju yang menjadi ibukota Sulawesi Barat dan Bulungan, ibukota Kalimantan Utara. Kedua ibukota ini lahir dari pengembangan kawasan transmigrasi selain juga telah terbentuk 104 pemukiman transmigrasi yang berkembang menjadi kabupaten maupun kota. Masih ada 385 pemukiman transmigrasi yang telah menjadi ibukota kecamatan.
Karena itu transmigrasi tidak lagi bisa dianggap main-main dari sisi pengembangan potensi perekonomiannya lebih khusus lagi untuk pengembangan di sektor properti. Dari transmigrasi pula saat ini sudah terbentuk 3.055 desa baru bahkan sebanyak 1.183 desa telah definitif dan diakui oleh pemerintah.
Transmigrasi juga telah mendorong swasembada pangan dengan penambahan area pertanian pangan berupa ekstensifikasi, lahan usaha, dan lainnya yang luasnya diperkirakan mencapai lebih dari 8 juta hektar. Transmigrasi juga telah mendukung ekspor non migas dengan pembukaan lahan perkebunan baru seluas 391,6 hektar dan berkembangnya pusat produksi baru berbasis pertanian, kelapa sawit, karet, dan sebagainya yang sebagian besar lokasinya tersebar di Sumatera dan Kalimantan.