Hingga awal tahun 2025 belum terjadi peningkatan signifikan untuk pasokan lahan industri baru di wilayah Jabodetabek. Namun beberapa kawasan menunjukkan potensi pertumbuhan yang kuat khususnya Subang yang dengan cepat muncul sebagai destinasi industri baru.
Kawasan ini berhasil menarik investasi besar dari produsen kendaraan listrik asal China. Kehadiran Pelabuhan Patimban diperkirakan akan semakin memperkuat daya saing Subang sebagai alternatif terhadap pusat-pusat industri tradisional seperti Bekasi dan Karawang.
Total penjualan lahan industri pada kuartal pertama (Q1) 2025 mencapai 54,06 hektar, turun dibandingkan Q4 2024 namun masih lebih tinggi dibandingkan Q1 pada tahun sebelumnya. Volume transaksi terbesar tercatat di Greenland International Industrial Center (GIIC) dengan penjualan sebesar 14,2 hektar yang didominasi oleh dua operator data center (12,2 hektar) dan satu perusahaan pengolahan makanan (2 hektar).
Ferry Salanto, Colliers Indonesia Head of Research mengatakan, dari perspektif sektoral data center tetap menjadi pendorong utama permintaan lahan diikuti oleh sektor tekstil, peralatan kantor, bahan bangunan, pengolahan makanan, serta logistik dan pergudangan.
“Meskipun masih di awal tahun, indikator awal menunjukkan bahwa sektor data center dan logistik akan terus menjadi penopang kinerja kawasan industri sepanjang tahun 2025 ini. Meskipun aktivitas relatif moderat, tren permintaan dan prospek ekspansi di wilayah Jabodetabek tetap menunjukkan perkembangan yang meyakinkan,” ujarnya.
Minat yang tinggi dari investor global terutama dari China, didukung oleh pertumbuhan di sektor-sektor strategis, merupakan sebuah momentum yang signifikan. Pergeseran geografis dalam pengembangan ke arah timur dan barat Jakarta, termasuk Subang, Karawang, dan Serang juga membuka peluang baru bagi kawasan industri untuk siap menangkap gelombang investasi berikutnya.
Ketegangan perdagangan yang sedang berlangsung antara Amerika Serikat dan China telah memicu perubahan besar dalam lansekap manufaktur global. Pengenaan tarif tinggi terhadap ekspor China ke Amerika secara signifikan juga telah meningkatkan biaya produksi bagi perusahaan yang beroperasi di China.
Di sisi lain kondisi ini mendorong banyak perusahaan multinasional untuk mengevaluasi kembali strategi manufaktur dan distribusi mereka dan dalam upaya mengurangi ketergantungan terhadap China dan menekan biaya, sejumlah perusahaan secara aktif mempertimbangkan untuk merelokasikan fasilitas produksi mereka ke negara-negara yang lebih efisien secara biaya dan netral terhadap tarif.
Pada akhirnya hal ini membawa keuntungan untuk Vietnam, Thailand, dan Indonesia yang muncul sebagai kandidat utama dalam lansekap relokasi yang terus berkembang ini.
Dampak tidak langsung dari pergeseran manufaktur ini sudah mulai dirasakan di pasar properti industri Indonesia.
“Potensi relokasi dan ekspansi bisnis yang terus berkembang mendorong meningkatnya permintaan terhadap lahan industri, ruang pabrik, dan gudang. Jika tren ini berlanjut, harga lahan industri diperkirakan akan terus meningkat, terutama di kawasan strategis dengan pasokan yang terbatas,” imbuh Ferry.
Supaya dapat bersaing secara efektif dan memanfaatkan peluang yang muncul dari penataan ulang rantai pasok global, Indonesia harus melakukan reformasi struktural secara menyeluruh. Penyederhanaan prosedur perizinan, percepatan pembangunan infrastruktur, serta pemberian insentif yang lebih kompetitif merupakan prasyarat penting untuk memperkuat daya saing kawasan industri nasional di tengah meningkatnya persaingan regional.