Banjir yang kerap melanda wilayah Jabodetabek dan banyak kota lainnya di Indonesia masih kerap terjadi. Alih fungsi lahan, pembangunan yang tidak memerhatikan dampak lingkungan, hingga perilaku masyarakat merupakan penyebab masih terus terjadinya banjir di kota-kota kita.
Di sisi lain, banjir walaupun bisa melumpuhkan kegiatan perekonomian namun dampaknya pada sektor properti nyatanya juga tidak terlalu signifikan. Dalam arti, banjir yang masih kerap terjadi tidak membuat orang kehilangan selera terkait kebutuhannya akan produk properti maupun membuat harga properti menjadi turun akibat banjir tersebut.
Properti yang berada di area langganan banjir bahkan masih tetap dianggap menarik. Menurut Ferry Salanto, Senior Associate Director Colliers International Indonesia (CII), sebuah perusahaan riset dan manajemen properti di Jakarta, banjir memang akan memiliki dampak untuk sektor properti tapi sifatnya sangat jangka pendek.
“Khususnya di Jakarta, lahan itu sudah sangat terbatas dan kita bisa lihat di Kelapa Gading yang langganan banjir tapi hal itu tidak membuat harga properti di sana menjadi turun bahkan tetap naik. Banjir di Jakarta itu seperti risiko yang hanya sesaat dan bisa diantisipasi sehingga wilayah yang banjir sekalipun tidak membuat harga propertinya menjadi jatuh,” ujarnya.
Selain Kelapa Gading, masih banyak contoh kawasan lain di Jakarta yang telah menjadi langganan banjir namun harganya tetap stabil. Sebut saja Kemang yang menjadi favorit kalangan ekspatriat sebagai tempat hunian sehingga banyak properti mewah yang disewakan di lokasi ini dan belum ada pemilik yang segera menjual propertinya dikarenakan banjir.
Begitu juga di wilayah Pluit, Sunter, maupun Tanjung Priok, kawasan-kawasan ini juga propertinya banyak dicari bagi kalangan yang tidak bisa membeli di Kelapa Gading. Artinya, kawasan-kawasan yang langganan banjir sekalipun tetap masih dicari di Jakarta dan tidak membuat harganya secara otomatis langsung jatuh.
“Sekali lagi banjir itu bencana yang risikonya terukur dan bisa diantisipasi selain sifatnya yang hanya sebentar sehingga tidak sampai membuat orang ingin segera melepas propertinya. Yang perlu kita lakukan adalah identifikasi yang lebih kuat, misalnya di wilayah tertentu Depok itu ada yang hujan sebentar saja langsung banjir karena lokasi rumahnya lebih rendah dari kali. Kita lihat apakah di situ akan ada proyek peninggian atau tanggul untuk kalinya, kalau tidak kita harus berpikir ulang untuk membeli di lokasi yang seperti ini,” jelasnya.
Aldi Garibaldi, Senior Associate Director Capital Markets and Investment Services CII menambahkan, lokasi hunian tempat tinggal secara kulturnya akan selalu dicari karena perkembangan populasi. Orang yang berkeluarga dan memiliki anak, kelak anak-anaknya akan mencari rumah di daerah situ juga atau yang dekat dengan orang tuanya sehingga hal ini yang membuat sangat sulit harga properti itu turun. “Selama pertumbuhan populasi itu lebih besar dari orang tuanya selama itu pula properti itu akan selalu naik karena nanti anak keturunannya akan cari hunian di sekitaran situ juga. Makanya Kelapa Gading harganya nggak turun-turun karena lahannya hanya segitu sementara yang cari banyak. Kecuali kalau yang beranak pinak lebih rendah dari orang tuanya, kalau seperti itu jadinya seperti di Jepang yang populasinya malah berkurang, baru nilai propertinya mungkin bisa turun,” bebernya.