Berdasarkan Paris Agreement, para pemimpin dunia sepakat untuk membatasi kenaikan suhu global agar tidak melebihi 1,5 derajat celcius di atas tingkat pra-industri pada akhir abad ini. Bila melebihi 20 derajat celcius diperkirakan akan menyebabkan hasil yang cataclysmic.
Berdasarkan Global Status Report for Buildings and Construction 2021, sektor properti dan konstruksi saat ini bertanggung jawab atas hampir 40 persen penggunaan energi akhir dan proses-terkait emisi karbon dioksida (CO2) dan memiliki peran yang sangat penting untuk memenuhi tujuan internasional berdasarkan Perjanjian Paris.
Menurut Deloitte Article yang ditulis oleh Michael Müller, Thomas Krick dan Julian Blohmke, kontributor utama yang dihasilkan dari sektor properti yaitu emisi dari bahan yang digunakan untuk kegiatan pemanasan, pendinginan, dan pencahayaan bangunan maupun infrastruktur.
“Bagaimana kita mencapai karbon net-zero pada sektor properti? Mengurangi emisi adalah jalan yang paling jelas untuk diambil dan berdasarkan Global Status Report for Buildings and Construction juga menyebutkan bahwa pemilik properti setidaknya memiliki tiga R untuk mencapai hasil sesuai target,” ujar Steve Arteton, Head of Capital & Investment Services Colliers Indonesia.
Ketiga R yang dimaksud yaitu renewable atau energi terbarukan. Untuk solusi jangka pendek dibutuhkan belanja modal yang lebih rendah untuk pengurangan emisi. Pemilik properti harus mencapai ini dengan mengalihkan penggunaan energinya ke penggunaan energi terbarukan.
Retrofitting yang merupakan langkah dengan melibatkan sistem penghawaan atau Heating, Ventilation, dan Air Conditioning (HVAC) yang terhubung ke energi terbarukan seperti panel surya dan turbin angin. Selain itu menyediakan parkir sepeda untuk mendorong orang berpergian menggunakan transportasi green ini.
Kemudian kepemilikan yang bertanggung jawab yang membuat manajer maupun landlord harus bertanggung jawab dan terus berupaya untuk meningkatkan kinerja lingkungan bangunan dan mendorong penghuni maupun penyewa untuk mempertimbangkan pola konsumsi energinya. Termasuk mengumpulkan data energi dan keberlanjutan, perilaku penyewa, hingga panduan perbaikan.
“Jika industri properti lebih bergantung pada energi terbarukan maka itu akan mendorong Indonesia untuk mengonsumsi teknologi yang lebih mahal yang diproduksi oleh negara-negara maju. Secara realistis, mengingat biaya teknologi yang mahal dikombinasikan dengan nilai mata uang yang terus menurun, negara-negara berkembang akan berada dalam posisi yang sulit untuk mengurangi emisi karbon dari industri properti dan konstruksi mereka,” imbuhnya.
Aldi Garibaldi, Senior Associate Director, Capital Markets & Investment Services Colliers Indonesia menambahkan, komitmen terhadap emisi net-zero juga membutuhkan banyak pembiayaan dan saat ini ada dua hambatan utama yang harus dihadapi negara-negara berkembang ketika menghitung bagaimana mengurangi emisi energi.
“Suku bunga tinggi dan nilai mata uang yang terdepresiasi akan berpengaruh pada biaya sewa yang lebih tinggi atau kemampuan untuk menarik penyewa serta biaya pendanaan akan menghambat pemilik properti untuk memperbaiki bangunan mereka. Hambatan lainnya adalah nilai mata uang yang lemah dan terdepresiasi. Jika pemilik properti memutuskan untuk membeli teknologi terbaru hal tersebut akan menjadi sangat mahal. Kebijakan pemerintah merupakan faktor penting yang diperlukan untuk menerapkan inisiatif tiga R,” jelasnya.
Untuk itu perlu diberikan insentif kepada pemilik properti untuk memperbaiki bangunan mereka sebagai contoh. Kebijakan seperti menurunkan pajak properti atau pajak penghasilan perusahaan untuk pemilik properti dengan struktur yang akan disesuaikan kembali. Untuk proyek pembangunan baru, pemerintah perlu mengizinkan pengembangan dengan kepadatan yang lebih tinggi asalkan pengembang merancang bangunan mereka untuk memenuhi persyaratan bangunan hijau.