Sampah merupakan sisa buangan dari suatu produk ataupun barang yang sudah tidak digunakan. Di negeri ini, sampah merupakan persoalan besar karena belum bisa tertangani dengan baik. Budaya membuang sampah pada tempatnya juga sejatinya hanya memindahkan sampah dan belum mengelola sampah.
Padahal, sampah dari sisa produk yang tidak digunakan masih bisa didaur ulang untuk menjadi barang yang bernilai. Sementara sampah organik hasil dari sisa makanan ataupun proses dapur lebih mudah terurai secara alami dan dengan penanganan yang tepat juga bisa menjadi produk baru yang berguna, pupuk misalnya.
Budaya nyampah kita juga sangat buruk dan menganggap banyak tempat boleh saja menjadi tempat sampah: jalanan, selokan, sungai, danau, lautan, hutan, gunung, dan seterusnya yang bisa sangat merusak lingkungan. Padahal, sampah tidak harus dibuang. Sebagian besar bisa diolah.
Untuk itu sampah harus dipilah sejak di rumah. Jadi yang dibuang ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA) hanya sedikit. Soal bagaimana mengelola sampah itu, sudah ada aturan rincinya dalam UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan PP No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga, diikuti berbagai aturan di bawahnya.
“Selama ini yang belum jalan penegakan hukumnya. Mestinya begitu ada aturan, pemerintah mulai mengedukasi masyarakat sambil menegakkan aturan. Jangan seperti sekarang yang tidak dijalankan oleh masyarakat sehingga sangat sulit mengubah kebiasaan buruk membuang sampah,” ujar M. Bijaksana Junerosano (Sano), Managing Director Waste 4 Change (W4C), perusahaan pengelola dan manajemen sampah di Bekasi, Jawa Barat.
Ada lima aspek manajemen persampahan supaya kita bisa mengelola sampah dengan baik: penegakan aturan, kelembagaan yang menjalankan, pembiayaan, teknis operasional, dan partisipasi semua pihak. Semuanya ibarat gear mesin yang hanya bisa berputar kalau semuanya bekerja. Sampah yang terkelola bukan hanya membuat lingkungan terjaga, tapi juga menciptakan perputaran ekonomi.
Untuk tahap awal, lanjut Sano, setiap rumah setidaknya memilah sampahnya menjadi dua. Sampah yang mudah busuk seperti sisa makanan, dedaunan, dan bahan organik lain dikumpulkan dalam satu wadah tertutup. Sampah organik ini saja dulu yang dipilah, sisanya terserah. Untuk yang lebih advance, kita bisa memilah sampah menjadi organik, sampah kertas, plastik, kaca, botol, dan lain-lain yang bisa didaur ulang.
Pola pikirnya, setiap barang yang bisa diambil pemulung harus dipisahkan karena itu berarti masih bernilai. Bahkan menurut UU Sampah, sampah terbagi dalam lima kategori: organik, yang bisa dipakai ulang, yang bisa didaur ulang, sampah B3, dan sampah lain. Jadi, tidak bisa rumah yang merasa sudah membayar iuran lalu membuang sampah tanpa dipilah dulu.
Selama ini pola pikirnya, sampah dibuang alias dipindahkan ke tempat lain. Rumah dan lingkungan kita bersih, tempat lain kotor. W4C yang mengelola sampah dari berbagai gedung dan perumahan, salah satunya Vida Bekasi (130 ha), Jl Raya Siliwangi, Narogong, Bekasi (Jawa Barat).
Pengembang perumahan juga malas berkonflik dengan penghuni, karena itu back up pemerintah sangat perlu. Pemerintah juga harus menentukan standar biaya pengelolaan sampah yang benar. Berapa idealnya setiap kilogram sampah dihargai untuk dikelola pihak lain. Penentuan biaya berbasis volume sehingga adil. Sano menyarankan berdasarkan ukuran kantong sampah (kecil, sedang, besar), karena kalau ditimbang tentu merepotkan.
“Selama ini banyak yang malas membayar karena tidak ada penegakan hukum. Wong, sampah bisa dibuang gratis, kenapa harus membayar? Di Jepang satu unit apartemen tidak memilah sampah, seluruh penghuninya terkena hukuman. Kalau hukum ditegakkan seperti itu, sesama warga akan saling menjaga,” tandasnya.